HomeMeluruskan Kembali Makna Hijab
Meluruskan Kembali Makna Hijab
0 komentar
Tak dapat dipungkiri, betapa senangnya kita belakangan ini menyaksikan maraknya kaum wanita yang berlomba-lomba mendeklarasikan dirinya telah berhijab. Di setiap tempat, di jalan, kampus, mal, dan tentu saja dalam berbagai kesempatan telah kita dapati banyaknya muslimah yang tak lagi menampakkan keindahan perhiasan diri yang mereka katakan telah berhijab.
Untuk mensyiarkan hijab ini, berbagai komunitas dibentuk oleh para muslimah. Sebut saja Hijabers Community, Komunitas Hijabers Bekasi, Komunitas Hijab Indonesia, dan banyak lagi nama lain yang merupakan wadah berkumpulnya para muslimah yang telah dan ingin mengajak serta muslimah lain untuk berhijab.
Tak ada ungkapan selain kebanggaan terhadap usaha para muslimah tersebut. Di saat yang lain under estimateuntuk membentuk komunitas-komunitas dengan tidak berani mengusung nilai-nilai Islam, mereka justru dengan bangga membuat wadah perkumpulan muslimah yang di dalamnya berisi orang-orang yang secara sadar menanggalkan busana yang jauh dari nilai-nilai Islam dan mengajak serta orang lain untuk mengikutinya.
Saking maraknya, berbagai media baik cetak maupun elektronik tak mau ketinggalan mempublikasikan setiap kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas hijab. Juga beragam talk show yang menghadirkan perwakilan dari komunitas-komunitas tersebut untuk bicara visi misi serta tujuan dibentuknya komunitas yang fenomenal itu.
Komunitas hijab beserta apa yang dikenakan menjadi trend. Berbondong-bondong para muslimah, khususnya di negeri ini, mengikuti gaya berbusana dengan apa yang mereka sebut hijab. Bahkan untuk melariskan produknya, belakangan tentu tak asing bagi kita menyaksikan sebuah iklan televisi yang di salah satu adegannya adalah bunyi dialog, “Wah,kamu sudah berhijab ya!”.
Hijab Dulu dan Kini
Apa yang menjadi pesan dalam tiap perkataan dan aktivitas serta apa yang dikenakan oleh muslimah dalam berbagai komunitas hijab tersebut telah dengan gamblang tersampaikan. Bahwa hijab bermakna telah menutup aurat, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Para disainer dalam berbagai peragaan busana muslim pun menegaskan hal tersebut.
Namun jika dicermati, apakah makna hijab yang ingin disampaikan oleh kebanyakan disainer muslim masa kini dengan berbagai komunitas hijab sebagai icon telah mewakili makna hijab yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah?
Al Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain al hijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Dalam kitab Al Ta’rifat dijelaskan bahwa Al Hijab adalah segala sesuatu yang terhalang dari pencarian kita, dalam arti bahasa berarti ma’nu yaitu mencegah, contohnya mencegah diri kita dari penglihatan orang lain.
Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan seperti apa yang dikatakan oleh Al-Zabidy dalam kitabnya Taj al-‘Urus, bahwa yang dimaksud dengan al-Hijab adalah segala sesuatu yang menghalangi antara kedua belah pihak. Artinya ada sebuah benda yang menghalangi penglihatan kita terhadap orang lain, contohnya, ketika ada dua orang sedang berbicara, tetapi di tengah-tengah mereka terdapat tembok yang besar, sehingga dengan adanya tembok yang besar itu mengakibatkan kedua orang tersebut tidak melihat satu sama lain. Nah…tembok inilah yang dinamakan al-Hijab.
Dalam Al-Qur’an pun disebutkan tentang al-Hijab ini, walaupun satu ayat, tetapi bermakna sangat dalam sekali terhadap definisi al-Hijab itu sendiri, sehingga ayat ini diberi nama dengan “Ayat Hijab”.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS.Al Ahzab:53)
Yang dimaksud dengan al-Hijab pada ayat di atas adalah, tabir pembatas yang menghalangi wanita dari penglihatan orang lain, tetapi bukan sesuatu yang dipakai seperti pakaian, celana maupun jilbab akan tetapi berbentuk sebuah pemisah seperti tembok, korden dan lain sebagainya.
Mengacu pada ayat di atas bahwa ketika pada zaman Nabi Muhammad Saw, ada orang asing yang datang kepada istri beliau untuk bertemu dikarenakan ada sesuatu urusan, maka Nabi pun mengizinkannya akan tetapi memerintahkan agar istrinya bertemu dibalik tabir.
Meski hal tersebut hanya berlaku untuk istri-istri Nabi, namun demi menjaga kesucian diri di jaman sekarang pun sebagai contoh dapat kita saksikan bagaimana para aktivis Islam dalam setiap kegiatan terutama ketika melakukan syuro’ (rapat) di sebuah ruangan, maka digunakanlah oleh mereka hijab untuk memisahkan ruang antara laki-laki dan perempuan. Juga dalam kegiatan seminar ke-Islaman, diskusi, pengajian, dan lain sebagainya hal tersebut lazim dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dan dapat menimbulkan fitnah.
Sekali Lagi: Syariat Bicara Jilbab!
Kita berlindung kepada Allah dari aktivitas mencela usaha kebaikan yang dilakukan oleh saudara seiman. Namun, apresiasi tersebut jangan sampai menghalangi kita untuk menyampaikan yang haq kepada saudara seiman yang kita cintai. Karena kita tidak ingin, muslimah yang tulus mencari kebenaran tentang aturan berpakaian yang telah digariskan oleh syariat, terbelok persepsinya karena tayangan televisi dan apa-apa yang hari ini dianggap sedang menjadi trend.
Ketika kebanyakan disainer muslim masa kini serta para muslimah yang tergabung dalam berbaagai komunitas hijab menyatakan bahwa yang mereka maksud dengan hijab adalah busana yang mereka kenakan, maka uraian di atas mudah-mudahan mampu memberikan pencerahan, bahwa hijab adalah pembatas yang digunakan dalam menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Juga jika yang dimaksud dengan hijab adalah bermakna busana muslimah dengan tujuan menutup aurat, maka mari kita segarkan ingatan bahwa Allah swt telah dengan tegas memberikan aturan kepada para muslimah dalam berbusana,
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al Ahzab:59)
Semoga tidak ada kebosanan dalam mengkaji dan mengingat-ingat kembali pesan-pesan yang datang dari Allah Sang Pembuat aturan, meski uraian tentang busana muslimah ini telah berulang kali dibahas baik dalam rubrik ini maupun di media-media lain.
Ya, yang dimaksud jilbab dalam ayat di atas adalah baju terusan panjang yang diulurkan ke seluruh tubuh. Ingat, seluruh tubuh, bukan tubuh bagian atas sepotong, ditambah bagian bawah sepotong. Melainkan adalah model pakaian yang langsung menutupi seluruh tubuh, dari atas hingga bawah. Nah, kebanyakan kita biasa menyebutnya gamis.
Sedangkan untuk penutup kepala, tanpa perlu banyak perdebatan, Allah juga telah dengan gamblang menjelaskan dalam firman-Nya,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya...” (QS.An Nuur:31)
Sekali lagi, demi menyegarkan ingatan serta pemahaman kita, inilah syarat-syarat busana muslimah yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur’an dan Sunnah:
Pertama, harus menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab:59)
Yang dimaksud jilbab dalam ayat ini telah diuraikan di atas.
Adapun penutup kepalanya adalah seperti disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 31 tadi,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya...”
Ya, kerudung yang sesuai dengan perintah Allah SWT adalah kerudung yang jika dipakai dapat menutup seluruh bagian kepala hingga ke dada. Dan soal ini tidak ada tawar menawar.
Kedua, pakaian yang dikenakan bukan dari kain yang tipis dan tembus pandang.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda,“Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Diatas kepala mereka seperti terdapat punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum yang terkutuk” (HR. Ahmad 2/223.Menurut Al-Haitsami rijal Ahmad adalah rijal shahih)
Ketiga, longgar dan tidak ketat sehingga dapat menampakkan lekuk tubuh.
Keempat, tidak diberi wewangian / parfum.
Harus kita waspadai, di dunia barat sekuler salah satu “fungsi” parfum adalah sebagai alat seducing man(menggoda laki-laki).
Begitulah mudharat dari parfum yang dipakai oleh perempuan (di luar rumah).
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina”
(HR.An-Nasai II:38,Abu dawud II:92, At-Tirmidzi IV:17, At-Tirmidzi menyatakan hasan shahih)
Kelima, tidak tasyabbuh (menyamai) pakaian orang kafir.
Tasyabbuh sudah jelas dilarang oleh Rasulullah, baik itu dilakukan oleh muslim ataupun muslimah. Dari Abdullah bin Amru bin Ash dia berkata:
“Rasulullah melihat saya mengenakan dua buah kain yang dicelup dengan warna ushfur, maka beliau bersabda: Sungguh ini merupakan pakaian orang-orang kafir maka jangan memakainya”
(HR.Muslim,6/144, hadits Shahih)
Keenam, Isbal (panjang melewati mata kaki).
Berbeda dengan laki-laki yang diharamkan isbal, maka perempuan diwajibkan untuk isbal.
Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa menghela pakaiannya lantaran angkuh, maka Allah tidak akan sudi melihatnya pada hari kiamat. Lantas Ummu Salamah bertanya:”Lalu, bagaimana yang mesti dilakukan oleh kaum wanita denngan bagian ujung pakaiannya? Beliau menjawab: hendaklah mereka menurunkan satu jengkal!Ummu Salamah berkata: Kalau begitu telapak kaki mereka terbuka jadinya. Lalu Nabi bersabda lagi:Kalau begitu hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan jangan lebih dari itu!” (HR.Tirmidzi (III/47) At-Tirmidzi berkata hadits ini Shahih)
Semoga tak ada lagi kebingungan di tengah para muslimah dalam menentukan mode berpakaian, sebab syariat telah sangat jelas mengaturnya.
Tentu kita berharap, ke depan akan lebih banyak lagi muslimah-muslimah yang mendirikan komunitas-komunitas kebaikan yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam yang yang murni serta bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, baik dalam hal berpakaian maupun hal-hal lain yang kebaikannya dapat terekspos melalui beragam media. Ya, sebagaimana media begitu gencar mempublikasikan mode berpakaian muslimah ala disainer muslim yang marak belakangan ini.
Agar nilai-nilai Islam tersebar sempurna dan tak ada penyalahan serta kesalahan persepsi dalam beragam aktifitas dan perilaku yang sebenarnya merujuk pada nilai-nilai Islam. Dan tentu saja, agar Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat tersampaikan secara benar dan sempurna di tengah-tengah umat. Wallahu’alam.Haifa Ramadhan
sumber
Posting Komentar