Pernikahan adalah karunia Allah yang layak disyukuri. Lantas, jika kita mendapati ada diantara kita yang justru menyesal atau kecewa dalam pernikahannya, ada apa gerangan?
Salah satu keistimewaan yang diberikan Islam kepada umatnya adalah bahwa segala amal yang diniatkan karena Allah, maka hal tersebut merupakan bagian dari ibadah. Tak terkecuali pernikahan. Pernikahan dalam Islam adalah dalam rangka menaati perintah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An Nuur:32)
Bahkan dalam ayat tersebut Allah SWT menjamin kepada siapa saja yang merasa dirinya miskin, maka akan Allah berikan karunia-Nya. Subhanallah.
Selain merupakan perintah Allah SWT, menikah juga merupakan sunnah para Rasul. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan demikian, sudah sewajarnya setiap muslim atau muslimah yang merasa mampu sangat berharap untuk dapat segera melangsungkan pernikahan. Sebab, selain pernikahan dalam Islam amat tinggi nilainya di sisi Allah dan Rasulnya, menikah juga dapat menjadi sarana untuk menundukkan hawa nafsu dan menjaga diri dari zina yang diharamkan. Di atas segalanya, pernikahan yang dijalani dengan memenuhi kaidah-kaidah hukum Islam, akan membuahkan keberkahan dalam hidup yang merupakan gerbang untuk menuju surga dan keridhaan Allah SWT.
Maka sudah selayaknya setiap orang yang telah Allah beri kesempatan untuk menikah akan sangat bersyukur dengan menjadikan pernikahannya sebagai sarana untuk menambah amal sholeh serta meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam berdawah di jalan Allah.
Namun yang disesalkan, tidak semua orang mensyukuri pernikahan yang telah dijalani. Banyak pasangan muda justru merasakan kekecewaan setelah menjalani pernikahan, baik pada pasangan maupun pada kehidupan pernikahan itu sendiri.
Yang Bermimpi Tentang Pernikahan
Tak sedikit diantara kita yang ketika masih lajang memiliki harapan setinggi awan mengenai pernikahan. Barangkali kita pernah berharap bahwa jika memilih pasangan maka para akhwat akan memilih yang tampan, mapan, dan menjabat sebagai ketua ini dan itu dalam organisasi dakwah. Sedangkan para ikhwan berharap jika menikah akan mendapatkan akhwat yang cantik, cerdas, aktivis kelas kakap, dan lain sebagainya. Tak ada yang salah dengan sederet kriteria yang kita syaratkan dalam memilih pasangan hidup. Tapi hendaklah diingat, bahwa tidak semua harapan akan berwujud menjadi kenyataan. Dan jika harapan terlalu tinggi, bisa jadi jika tidak kita dapatkan maka yang diperoleh justru kekecewaan.
Itu baru soal pasangan hidup. Bagaimana dengan impian-impian lain berkaitan dengan kehidupan pernikahan itu sendiri? Ya, banyak fenomena pasangan muda yang mengaku kecewa, karena setelah menikah kehidupan menjadi berubah, cita-cita menjadi kandas, segala impian masa muda menjadi musnah.
Masa lajang memang masa dimana segala perencanaan hidup dirangkai begitu ideal. Tak sedikit dari kita membayangkan, bahwa rangkaian-rangkaian keinginan akan berjalan mulus tanpa hambatan. Kita nyaris lupa, bahwa setelah menikah, amanah, kewajiban, serta tanggung jawab semakin berlipat jumlahnya. Dan itu semua menuntut porsi prioritas.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An Nuur:32)
Bahkan dalam ayat tersebut Allah SWT menjamin kepada siapa saja yang merasa dirinya miskin, maka akan Allah berikan karunia-Nya. Subhanallah.
Selain merupakan perintah Allah SWT, menikah juga merupakan sunnah para Rasul. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan demikian, sudah sewajarnya setiap muslim atau muslimah yang merasa mampu sangat berharap untuk dapat segera melangsungkan pernikahan. Sebab, selain pernikahan dalam Islam amat tinggi nilainya di sisi Allah dan Rasulnya, menikah juga dapat menjadi sarana untuk menundukkan hawa nafsu dan menjaga diri dari zina yang diharamkan. Di atas segalanya, pernikahan yang dijalani dengan memenuhi kaidah-kaidah hukum Islam, akan membuahkan keberkahan dalam hidup yang merupakan gerbang untuk menuju surga dan keridhaan Allah SWT.
Maka sudah selayaknya setiap orang yang telah Allah beri kesempatan untuk menikah akan sangat bersyukur dengan menjadikan pernikahannya sebagai sarana untuk menambah amal sholeh serta meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam berdawah di jalan Allah.
Namun yang disesalkan, tidak semua orang mensyukuri pernikahan yang telah dijalani. Banyak pasangan muda justru merasakan kekecewaan setelah menjalani pernikahan, baik pada pasangan maupun pada kehidupan pernikahan itu sendiri.
Yang Bermimpi Tentang Pernikahan
Tak sedikit diantara kita yang ketika masih lajang memiliki harapan setinggi awan mengenai pernikahan. Barangkali kita pernah berharap bahwa jika memilih pasangan maka para akhwat akan memilih yang tampan, mapan, dan menjabat sebagai ketua ini dan itu dalam organisasi dakwah. Sedangkan para ikhwan berharap jika menikah akan mendapatkan akhwat yang cantik, cerdas, aktivis kelas kakap, dan lain sebagainya. Tak ada yang salah dengan sederet kriteria yang kita syaratkan dalam memilih pasangan hidup. Tapi hendaklah diingat, bahwa tidak semua harapan akan berwujud menjadi kenyataan. Dan jika harapan terlalu tinggi, bisa jadi jika tidak kita dapatkan maka yang diperoleh justru kekecewaan.
Itu baru soal pasangan hidup. Bagaimana dengan impian-impian lain berkaitan dengan kehidupan pernikahan itu sendiri? Ya, banyak fenomena pasangan muda yang mengaku kecewa, karena setelah menikah kehidupan menjadi berubah, cita-cita menjadi kandas, segala impian masa muda menjadi musnah.
Masa lajang memang masa dimana segala perencanaan hidup dirangkai begitu ideal. Tak sedikit dari kita membayangkan, bahwa rangkaian-rangkaian keinginan akan berjalan mulus tanpa hambatan. Kita nyaris lupa, bahwa setelah menikah, amanah, kewajiban, serta tanggung jawab semakin berlipat jumlahnya. Dan itu semua menuntut porsi prioritas.
Sayangnya, justru banyak yang tidak arif dalam menyikapi hal itu. Merasa diri memiliki keinginan dan cita-cita yang ideal, maka tidak bisa tidak, segala harapan harus terwujud. Tak peduli apakah kemampuan hari ini sama dengan hari kemarin. Juga tak peduli apakah ambisinya itu berakibat mendzalimi diri sendiri dan juga pasangan.
Jika sudah demikian, usaha demi usaha untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawwadah, warrahmah justru malah terpinggirkan demi untuk mencapai ambisi pribadi dan impian setinggi langit warisan masa lajang.
Tak Ada Manusia Sempurna, Tak Ada Kehidupan Sempurna
Tentu tidak salah jika kita memiliki harapan dan cita-cita. Apalagi jika kita yakin bahwa apabila cita-cita tercapai dapat mendatangkan maslahat yang besar bagi keluarga dan ummat. Juga tidak masalah jika kita pernah berharap mendapatkan pasangan yang ideal sesuai gambaran kita.
Tapi di atas itu semua, mari kembali kita sadari, bahwa di dunia ini tak ada makhluk yang sempurna. Sebagaimana diri kita, pasangan kita juga bukanlah manusia yang sempurna. Ketika kita dirundung kekecewaan karena ternyata pendamping hidup tidak seperti apa yang dibayangkan, hal tersebut bisa menjerumuskan kita pada pikiran, “Jikalau dulu saya menikah dengan si anu, pasti tidak akan begini...”. Padahal jika kita bersuamikan atau beristrikan orang lain, belum tentu orang lain itu lebih baik dari pasangan kita saat ini.
Ingat-ingatlah selalu firman Allah SWT, “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Lalu, bagaimana jika kekecewaan berbuntut penyesalan itu terlanjur ada dalam diri seseorang mengenai pasangan hidup yang dianggap tidak ideal? Psikolog Dra. Juliani Prasetyaningrum,Mpsi dalam sebuah artikel mengungkapkan bahwa kita harus selalu memunculkan positive thinking dengan cara mengingat-ingat kebaikan yang dimiliki pasangan. Bukankah ketika kita memutuskan untuk memilih atau menerima seseorang untuk menjadi pendamping hidup, karena kita melihat adanya kebaikan dalam dirinya bukan?! Nah, ingat-ingatlah terus kebaikan demi kebaikan pasangan kita. “Dengan berpikir positif pada pasangan, dapat berpengaruh pada baiknya sikap dan perilaku kita dalam menerima pasangan,” demikian dikemukakan Juliani.
Tentu masih segar dalam ingatan kita kisah masa lampau di masa Kekhalifahan Umar bin Khathab. Saat seseorang hendak mengadukan masalah rumah tangganya kepada khalifah Umar bin Khathab, tanpa sengaja ia malah mendengar sang Khalifah tengah dimarahi istrinya. “Khalifah Umar, tadi aku mendengar engkau diomeli istrimu sedemikian rupa. Dan engkau hanya diam saja, tak marah, ataupun menegurnya, bagaimana engkau mampu berbuat demikian?” tanyanya. Dengan tenang, Umar menjawab, “Itu aku lakukan karena aku menghormatinya. Dia yang mengurusku, anak-anakku, dan rumahku. Ia mencucikan bajuku, membuatkan roti untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain. Sementara semua itu tidak pernah kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya.”
Begitulah. Jika sang Khalifah saja bisa demikian bersabar dan selalu mengingat-ingat kebaikan pasangannya, pantaskah jika kita justru banyak mengeluh? Maka jawabannya seharusnya adalah tidak.
Menikah, Pemulus Jalan Raih Cita-cita
Jika setelah menikah usaha-usaha kita dalam meraih apa yang kita cita-citakan di masa lajang serasa jalan di tempat atau bahkan terhenti begitu saja. Juga jika setelah menikah aktivitas kita terasa demikian terhambat. Tentu bukan pernikahannya yang salah. Karena seharusnya, sesuatu yang dirasa mudah dilakukan ketika masih sendiri (baca: lajang), maka akan jauh lebih mudah mengerjakan sesuatu ketika sudah ada pendamping hidup.
Ya, sebab pernikahan diharapkan menjadi sarana bagi masing-masing pihak untuk melejitkan potensi diri. Masing-masing haruslah saling mendukung pasangannya untuk mengaktualisasikan diri. Bukan sebaliknya. Jangan ada penumpulan potensi, jangan ada pembunuhan kreativitas.
Jika sudah demikian, usaha demi usaha untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawwadah, warrahmah justru malah terpinggirkan demi untuk mencapai ambisi pribadi dan impian setinggi langit warisan masa lajang.
Tak Ada Manusia Sempurna, Tak Ada Kehidupan Sempurna
Tentu tidak salah jika kita memiliki harapan dan cita-cita. Apalagi jika kita yakin bahwa apabila cita-cita tercapai dapat mendatangkan maslahat yang besar bagi keluarga dan ummat. Juga tidak masalah jika kita pernah berharap mendapatkan pasangan yang ideal sesuai gambaran kita.
Tapi di atas itu semua, mari kembali kita sadari, bahwa di dunia ini tak ada makhluk yang sempurna. Sebagaimana diri kita, pasangan kita juga bukanlah manusia yang sempurna. Ketika kita dirundung kekecewaan karena ternyata pendamping hidup tidak seperti apa yang dibayangkan, hal tersebut bisa menjerumuskan kita pada pikiran, “Jikalau dulu saya menikah dengan si anu, pasti tidak akan begini...”. Padahal jika kita bersuamikan atau beristrikan orang lain, belum tentu orang lain itu lebih baik dari pasangan kita saat ini.
Ingat-ingatlah selalu firman Allah SWT, “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Lalu, bagaimana jika kekecewaan berbuntut penyesalan itu terlanjur ada dalam diri seseorang mengenai pasangan hidup yang dianggap tidak ideal? Psikolog Dra. Juliani Prasetyaningrum,Mpsi dalam sebuah artikel mengungkapkan bahwa kita harus selalu memunculkan positive thinking dengan cara mengingat-ingat kebaikan yang dimiliki pasangan. Bukankah ketika kita memutuskan untuk memilih atau menerima seseorang untuk menjadi pendamping hidup, karena kita melihat adanya kebaikan dalam dirinya bukan?! Nah, ingat-ingatlah terus kebaikan demi kebaikan pasangan kita. “Dengan berpikir positif pada pasangan, dapat berpengaruh pada baiknya sikap dan perilaku kita dalam menerima pasangan,” demikian dikemukakan Juliani.
Tentu masih segar dalam ingatan kita kisah masa lampau di masa Kekhalifahan Umar bin Khathab. Saat seseorang hendak mengadukan masalah rumah tangganya kepada khalifah Umar bin Khathab, tanpa sengaja ia malah mendengar sang Khalifah tengah dimarahi istrinya. “Khalifah Umar, tadi aku mendengar engkau diomeli istrimu sedemikian rupa. Dan engkau hanya diam saja, tak marah, ataupun menegurnya, bagaimana engkau mampu berbuat demikian?” tanyanya. Dengan tenang, Umar menjawab, “Itu aku lakukan karena aku menghormatinya. Dia yang mengurusku, anak-anakku, dan rumahku. Ia mencucikan bajuku, membuatkan roti untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain. Sementara semua itu tidak pernah kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya.”
Begitulah. Jika sang Khalifah saja bisa demikian bersabar dan selalu mengingat-ingat kebaikan pasangannya, pantaskah jika kita justru banyak mengeluh? Maka jawabannya seharusnya adalah tidak.
Menikah, Pemulus Jalan Raih Cita-cita
Jika setelah menikah usaha-usaha kita dalam meraih apa yang kita cita-citakan di masa lajang serasa jalan di tempat atau bahkan terhenti begitu saja. Juga jika setelah menikah aktivitas kita terasa demikian terhambat. Tentu bukan pernikahannya yang salah. Karena seharusnya, sesuatu yang dirasa mudah dilakukan ketika masih sendiri (baca: lajang), maka akan jauh lebih mudah mengerjakan sesuatu ketika sudah ada pendamping hidup.
Ya, sebab pernikahan diharapkan menjadi sarana bagi masing-masing pihak untuk melejitkan potensi diri. Masing-masing haruslah saling mendukung pasangannya untuk mengaktualisasikan diri. Bukan sebaliknya. Jangan ada penumpulan potensi, jangan ada pembunuhan kreativitas.
Dalam kacamata orang beriman, aktualisasi diri adalah pengambilan peran untuk beramal shalih dengan seluas-luasnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 105, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Amal shalih sebagaimana diungkapkan Sayyid Quthb, adalah buah alami dari keimanan, dan gerak yang bermula pada detik dimana hakikat keimanan itu menghujam dalam hati. Begitu hakikat keimanan menghujam dalam nurani, maka pada saat itu pula ia bergerak mengekspresikan dirinya di luar dalam bentuk amal shalih. Itulah iman Islam!
Jadi, siapa bilang setelah menikah mematikan potensi, bahkan menghambat cita-cita yang merupakan sarana aktualisasi diri?! Hanya saja, semua ada aturannya. Segalanya menuntut kecerdasan dalam menempatkan skala prioritas.
Jangan sampai kesibukan mengejar ambisi dan cita-cita pribadi dengan alasan aktualisasi diri menjadikan kita abai terhadap tugas dan tanggung jawab utama dalam hidup berumah tangga.
Kembali Kepada Niat
Mari luruskan kembali niat kita menikah. Jika pernikahan kita lakukan semata-mata dalam rangka menaati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah, niscaya tak akan ada kekecewaan dan penyesalan dalam kehidupan pernikahan.
Penyesalan dan kekecewaan yang berkepanjangan hanya menegaskan bahwa diri kita termasuk golongan orang-orang yang tidak pandai mensyukuri karunia Allah. Ya, sebab sejatinya Allah tak pernah salah dalam setiap ketetapan-Nya, baik yang menyangkut siapa jodoh kita maupun bagaimana kehidupan pernikahan kita.
Jadi bagaimanapun kehidupan kita hari ini dan seperti apapun pasangan hidup kita, tetaplah bersyukur. Mudah-mudahan dari rasa syukur itu Allah akan menambahkan karunia-Nya dalam diri dan kehidupan kita, sebagaimana firman-Nya,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 7)
Wallahu’alam Bi Showwab.
Meta Susanti
Jadi, siapa bilang setelah menikah mematikan potensi, bahkan menghambat cita-cita yang merupakan sarana aktualisasi diri?! Hanya saja, semua ada aturannya. Segalanya menuntut kecerdasan dalam menempatkan skala prioritas.
Jangan sampai kesibukan mengejar ambisi dan cita-cita pribadi dengan alasan aktualisasi diri menjadikan kita abai terhadap tugas dan tanggung jawab utama dalam hidup berumah tangga.
Kembali Kepada Niat
Mari luruskan kembali niat kita menikah. Jika pernikahan kita lakukan semata-mata dalam rangka menaati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah, niscaya tak akan ada kekecewaan dan penyesalan dalam kehidupan pernikahan.
Penyesalan dan kekecewaan yang berkepanjangan hanya menegaskan bahwa diri kita termasuk golongan orang-orang yang tidak pandai mensyukuri karunia Allah. Ya, sebab sejatinya Allah tak pernah salah dalam setiap ketetapan-Nya, baik yang menyangkut siapa jodoh kita maupun bagaimana kehidupan pernikahan kita.
Jadi bagaimanapun kehidupan kita hari ini dan seperti apapun pasangan hidup kita, tetaplah bersyukur. Mudah-mudahan dari rasa syukur itu Allah akan menambahkan karunia-Nya dalam diri dan kehidupan kita, sebagaimana firman-Nya,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 7)
Wallahu’alam Bi Showwab.
Meta Susanti
Posting Komentar