Diposkan oleh Haryo Bagus Handoko
"Orang-orang yang menginfakkan harta-harta mereka di waktu malam dan di waktu siang, dengan diam-diam dan dengan terang-terangan, maka bagi mereka tersedia ganjarannya di sisi Tuhan mereka dan tiada kecemasan atas mereka dan tiada mereka akan bersedih hati." (QS. Al-Baqarah II: 274).Islam adalah suatu idea dari satu sistem kehidupan, suatu way of life. Seorang muslim, tahu dan percaya serta yakin benar, sesungguhnya hanya dengan sistem kehidupan yang dirumuskan Islam itulah saja, kehidupan manusia ini baru bisa dipulihkan kepada fitrahnya, sesuai dengan rencana Allah semula sebagai Pencipta manusia, sehingga kehidupan tersebut selamat aman dan damai dalam naungan ampunan Ilahi.
Kehidupan yang selamat aman dan damai, itulah yang dimaksud dengan "BALDATUN THAYYIBAH" yang harus dipayungi dan diteduhi oleh maghfirah Allah, Tuhan Semesta Alam. Allah memang Rabbun Ghafuur, Tuhan yang Pengampun. Tapi justru, Ia pasti tak akan rela menaungi sebuah kehidupan bagaimanapun thayyibahnya, manakala di segala penjurunya penuh bergelimang dosa dan maksiat yang menyebabkan maghfirahNya lari menjauh.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah pernah memfatwakan:
"Allah akan menegakkan sebuah negara yang adil, kendati pun negara itu kafir. Dan Ia tak akan menegakkan negara yang zalim, kendatipun negara itu adil."
Hal ini telah menguatkan penafsiran Rabbun Ghaffuur terhadap baldatun thayyibatun di atas.
Menegakkan dan membangun satu baldatun thayyibatun atau daulatan adilatan di muka bumi, di samping tenaga moral dan spiritual yang konkrit, ia pun amat memerlukan tenaga benda (material) berupa uang dan harta.
Pertama kemakmuran kehidupan itu tak akan menjelma dengan sendirinya, idea kemakmuran hidup yang thayyibah dan adil itu akan tinggal menjadi idea semata dalam hati seorang mukmin, tak akan menjadi kenyataan, meskipun iman itu senantiasa mendesak untuk melaksanakan alkhair, ihsan dan amal saleh.
Infaq dalam Islam.
Ayat 274 surat Baqarah yang menjadi motto tulisan ini, sudah cukup membayangkan tugas infaq itu dan bagaimana seorang muslim yang berpunya harus melaksanakannya, dengan suka-rela dan ikhlas. Menurut keterangan ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan tindakan Abu Bakar Siddiq menginfakkan uangnya sebanyak 40.000 dirham. Karena keimanannya yang mendalam dan kesadaran hatinya akan kewajiban dan kepentingan berinfaq di masa pembangunan Islam pertama itu, ia telah menginfaqkan dengan empat cara: Sepuluh ribu di waktu malam, sepuluh ribu di waktu siang, sepuluh ribu di waktu sembunyi, tak ada orang yang tahu, dan sepuluh ribu lagi dengan terang-terangan, diketahui dan dipersaksikan orang lain. Atas tindakan Abu Bakar yang begitu pemurah, turunlah ayat 274 Surat Al-Baqarah tersebut, demi untuk menjadi teladan, bahwa demikian hendaknya seorang muslim yang berpunya harus berbuat.
Kisah tindakan Abu Bakar yang mendapat sambutan wahyu itu diketahui oleh Sayyidina Ali, suami Fatimah, yang amat miskin tak pernah berpunya itu, yang tak pernah memegang uang agak banyak sepanjang hidupnya. Tapi besar sekali hasratnya hendak berbuat pula seperti Abu Bakar.
Maka pada suatu ketika, ia beroleh uang sebanyak 4 dirham, mungkin sangat dibutuhkan bagi keperluan rumah tangganya yang selalu kekurangan itu. Tapi karena demikian besar hasratnya hendak berinfaq, apalagi dikenal dalam riwayat hidup Ali r.a. bahwa semangatnya tinggi untuk memberi, bersedekah, dan menolong orang, kendati pun ia miskin sekali. Ia amat suka berinfaq membantu orang miskin dan anak yatim serta menemui orang di rumahnya. Tak ingat ia akan kemiskinannya. Maka uang empat dirham yang didapatnya itu diinfaqkannya: sedirham di waktu malam, sedirham di waktu siang, sedirham di waktu sembunyi dan sedirham lagi secara terang-terangan.
Sesudah hasratnya itu kesampaian, maka legalah hatinya. Bagaimanapun, ia telah memenuhi ayat itu, meskipun infaqnya tidak sebanyak infaq Abu Bakar.
Infaq di dalam Islam dipandang sebagai kewajiban yang terpenting sebab dengan infaqlah dapat membangun amal-amal, alkhair, dan dengan infaq juga dapat ditegakkan apa yang disebut dengan keadilan sosial dalam lingkup ummat Islam. Dan kewajiban infaq ini terutama dihadapkan kepada para muslim yang berpunya. Tapi juga kepada para muslim yang miskin dan tidak berpunya, yang pemurah hati. Terhadap muslim yang tergolong miskin namun mempunyai jiwa murah hati, Allah menaruh perhatian dan melebihkan kasihNya, seperti disebut dalam salah satu Hadist Qudsy berikut ini yang artinya:
"Aku sayang kepada para orang-orang pemurah, tapi kasihKu lebih kepada si faqir yang pemurah."
Infaq suka dan rela memberi, membantu dan menolong adalah suatu fitrah manusia, bila ia tak dikalahkan oleh semangat bakhil. Memberi adalah satu kesenangan yang nikmat bagi setiap jiwa .
Kalau Anda pernah memberi dan menolong orang yang memerlukannya, tentu Anda dapat merasakan kesenangan dan nikmatnya dalam jiwa dan hati. Dan alangkah besar ganjarannya di sisi Allah, bila dilakukan dengan ikhlas dan tidak riya'. Sebab itu Islam mewajibkan infaq, dengan mendidik dan menyirami rasa kedermawanan dan kepemurahan yang ada dalam diri manusia yang merasa senang dan nikmat memberi itu.
Dan kalau rasa kedermawanan dan kepemurahan itu telah tumbuh subur dalam jiwa ummat Islam, Insya Allah mudahlah membangun amal-amal besar dalam Islam sehingga meratalah keadilan sosial di kalangan ummat yang akan menghilangkan kedengkian, segala sumber tindak kejahatan yang asalnya dari kemelaratan atau kefakiran yang teramat sangat. Rasulullah berkata:
"Apabila penguasa-penguasa kamu orang-orang pilihan dan para hartawan kamu orang-orang pemurah dan dalam urusan-urusan kamu selalu bermusyawarah, maka muka bumi lebih baik bagi kamu daripada perutnya." (riwayat Ibnu Majah).
Itulah pula sebabnya dalam syarat Islam diatur peraturan zakat, suatu cara memberi yang ditentukan waktu dan banyaknya, zakat harta, perniagaan, pertanian, dan peternakan, juga zakat fitrah yang kita kenal pembayarannya menjelang hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Qurban (Idul Adha).
Selain dari itu ada pula cara memberi yang tak memperhitungkan waktu dan banyaknya, bahkan terkadang amat sering dilaksanakan dan terkadang lebih banyak jumlahnya, yang dinamakan shadaqoh. Semua cara memberi ini tercakup kesemuanya secara umum dalam apa yang kita kenal dengan sebutan infaq, shadaqoh yang tak berjangka waktu dan jumlah itu, sebuah pelengkap terhadap apa yang kita kenal sebagai zakat.
Salah satu dari empat soal yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah - Tuhan Maha Pemurah, kepada para hambaNya nanti ialah:
"dan dari hartanya dari mana ia diusahakannya dan pada apa yang diinfaqkannya."
Pada suatu hari datang seorang kepada Nabi Muhammad SAW dan bertanya:
"Sedekah macam manakah yang lebih besar pahalanya, Ya Rasulullah?"
Nabi menjawab: "Bahwa bersedekahlah engkau selagi engkau sehat dan merasa kikir, takut miskin dan ingin hendak kaya, serta engkau tidak mengundurkan waktunya hingga nafasmu sudah di kerongkongan dan baru engkau berpesan sekian untuk si fulan, sekian untuk si fulan, sedang si fulan itu tak memerlukannya lagi." (riwayat Bukhari).
Rasulullah berkata:
"Budi baik akan menjaga pertentangan yang buruk, sedekah dengan sembunyi-sembunyi akan memadamkan murka Tuhan dan hubungan silaturahmi akan menambah umur." (riwayat Thabrani).
Kemudian Nabi berkata pula:
"Aku bersumpah dengan tiga perkara: Tiadalah akan menjadi kurang harta seorang hamba karena bersedekah. Tiadalah dizalimi seorang hamba dengan satu kezaliman, tapi ia sabar menerimanya, maka Allah akan menambah kemuliannya dengan sikapnya itu. Dan tiadalah seorang hamba membuka pintu untuk orang yang meminta kepadanya, kecuali Allah akan membuka pintu baginya untuk dapat keluar dari kemiskinan." (riwayat Ibnu Majah).
Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad SAW pernah berkata:
"Bentengilah harta kamu dengan zakat, obatilah si sakit kamu dengan sedekah dan hadapilah gelombang cobaan dan derita dengan doa tadharru' segala kerendahan hati." (riwayat Abu Daud).
Akhirnya marilah kita akhirkan tulisan ini dengan hadist Nabi SAW:
"Sesungguhnya bagi Allah ada beberapa kaum yang Ia istimewakan dengan nikmat yang banyak, demi untuk kemanfaatan para hamba, nikmat yang banyak itu akan Allah kekalkan kepada mereka, selama mereka menunaikan akan tugas itu. Tapi apabila mereka tak memenuhinya maka Allah akan mengalihkan nikmat itu kepada orang lain." (riwayat Ahmad).
sumber
Posting Komentar