Dua dari tiga hal penting yang awal kali dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya diMadinah –membangun Masjid Nabawi serta mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar- kali ini kita akan mengulas yang ketiga yaitu mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi.
Penduduk Madinah terdiri atas beberapa suku, agama, dan peradaban. Sebab itu, siasat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagai teladan dalam agama dan akhlak, politik dan tata negara, serta sosial dan ekonomi- adalah melakukan perdamaian dengan kabilah-kabilah di sana. Tujuannya agar terjalan hubungan dengan mereka sebagai umat yang berada dalam satu negeri. Inilah dasar siasah syar’iyyah dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau agama lain.
Di antara isi perjanjian antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi ialah sebagai berikut:
- Yahudi ikut bersama kaum muslimin dalam mengeluarkan biaya perang selama terjadi peperangan dan saling membantu dalam penebusan diat.
- Orang Yahudi tidak boleh keluar dari Madinah kecuali dengan izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Kaum Yahudi harus menafkahi diri mereka sendiri sebagaimana kaum muslimin menafkahi dari mereka sendiri. Hanya, mereka semua bersatu untuk melawan siapa saja yang memerangi ahli perjanjian ini dan menolong orang yang dizalimi.
- Tidak boleh melindungi Quraisy dan harta mereka serta sekutu mereka.
- Semua perselisihan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Kota Madinah haram bagi ahli perjanjian ini.
Para ulama ahli sejarah menyebutkan pula bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bagi sesama kaum muslimin bersamaan perjanjian dengan kaum Yahudi ini. Akan tetapi, menurut ulama ahli tahqiq, perjanjian antara kaum muslimin tersebut dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Perang Badar sedangkan perjanjian dengan kaum Yahudi ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pertama kali tiba di Madinah sebelum Perang Badar. Dengan perjanjian ini, maka hukum yang berlaku di Madinah dan kekuasaan mutlak adalah di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin.
Beberapa Peristiwa di Darul Hijrah
Orang-orang Yahudi menuduh (mengolok-olok) bahwa kaum muslimin terkena sihir sehingga mereka tidak dapat melahirkan anak. Sebab itu, para sahabat sangat berbahagia tatkala Asma binti Abu Bakar yang dalam keadaan hamil tua datang ke Madinah bersama rombongan Muhajirin dari keluarga Abu Bakar, lalu setibanya di Quba’ ia melahirkan putranya bernama Abdullah bin Zubair. Mereka gembira dengan lahirnya Abdullah bin Zubair sebagai anak pertama yang lahir di Madinah bagi Muhajirin sebagaimana Nu’man bin Basyir anak pertama yang lahir bagi kaum Anshar. Demikianlah Allah membungkam tuduhan dusta Yahudi tersebut.
Peristiwa lain yang menjadi ujian bagi para sahabat di Madinah dan fitnah bagi orang-orang kafir adalah penyakit yang disebut “demam Madinah”. Para sahabat Muhajirin ditimpa sakit demam Madinah yang sangat parah sehingga mereka melakukan shalat dalam keadaan duduk. Adapun Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dijaga oleh Allah sehingga demam itu tidak menimpanya. Ketika melihat keadaan sahabatnya yang menderita akibat penyakit demam ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah atau lebih (dari itu), jadikanlah Madinah sehat, berkahilah sha’ dan mud-nya (alat untuk menakar barang), dan pindahkanlah penyakit demamnya ke Juhfah (lembah di Mekah).” (HR. Bukhari: 39260
Selain itu, yang lebih dahsyat lagi adalah ancaman Quraisy terhadap Muhajirin dan Anshar serta makar Abdullah bin Ubay; tokoh kaum munafiqun. Tatkala Rasulullah datang ke Madinah bersama para sahabat, penduduk Madinah telah sepakat untuk menobatkan Ibnu Ubay ini sebagai raja penguasa di Madinah. Akan tetapi, hal ini tidak terpenuhi karena Rasulullah-lah yang menjadi pemimpin Madinah dengan kepemimpinan nubuwwah. Oleh karena itu, ia enggan masuk Islam sebab menurutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merampas kekuasaannya dan ia memilih untuk menjadi munafik (menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran). Ia memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara nifaq sebab ia tidak berani dan tidak memiliki kekuatan untuk memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan terang-terangan seperti kafir Quraisy atau Yahudi. Keadaan Abdullah bin Ubay seperti ini merupakan angin segar bagi Quraisy karena ia seagama dengan mereka. Quraisy menulis surat kepadanya untuk membuat makar yang dapat memadharatkan (membahayakan) kaum muslimin sebagaimana yang mereka perbuat terhadap nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di Mekah. Ibnu Ubay melaksanakan perintah ini. Tentang kejahatan orang ini terhadap Islam dan kaum muslimin akan kita ketahui pada bahasan-bahasan yang akan datang, insya Allah.
Untuk mewaspadai bahaya ini, para sahabat selalu mengadakan penjagaan terhadap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari hingga turun ayat:
“…Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia…” (QS. Al-Maidah: 67)
Maksudnya, Allah memelihara kamu sehingga engkau tidak terbunuh sebelum menyelesaikan tugas menyampaikan risalah-Nya. Seteah turunnya ayat terebut Rasulullah berkata kepada sahabatnya, “Pulanglah kalian karena Allah telah menjagaku.” (Shahih. HR. at-Tirmidzi: 3250)
Sebagai bukti dari ancaman dan permusuhan ini, Quraisy menghalangi orang Anshar dari Masjidil Haram seperti dalam kisah Sahabat mulia Sa’ad bin Mu’adz dengan Abu Jahal. Ceritanya, Sa’ad bin Mu’adz datang ke Mekah untuk melakukan umrah. Tatkala beliau thawaf di Ka’bah Abu Jahal mengetakan kepadanya, “Mana boleh kamu bisa melakukan thawaf di Ka’bah sementara kalian melindungi Muhammad dan sahabatnya?!” Keduanya saling beradu mulut. Sa’ad berkata kepada Abu Jahal, “Demi Allah, jika kamu menghalangiku untuk thawaf di Ka’bah maka akan kuhalangi perdaganganmu ke Syam.” Sa’ad mengancamnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membunuhnya. Dan memang benar, Abu Jahal terbunuh dalam Perang Badar. (HR. Bukhari, no.3642)
Ahli Shuffah
Indahnya kehidupan para sahabat menggambarkan betapa mulianya umat ini sebagai umat pilihan Allah untuk menemani Rasul-Nya. Mereka yang kaya berdiri satu shaf dengan mereka yang miskin dalam menegakkan jihad fi sabillah. Aqidah Islam yang kuat dalam diri mereka menghilangkan perbedaan status sosial dengan segala macamnya.
Hijrahnya sebagian sahabat yang meninggalkan rumah dan harta kekayaan mereka karena Allah tentu menjadi masalah bagi sebagian mereka. Sekalipun kaum Anshar telah mencurahkan apa saja yang mereka miliki untuk saudara mereka Muhajirin, masih ada sebagian Muhajirin yang membutuhkan tempat tinggal apalagi dengan makin bertambahnya kaum Muhajirin yang berdatangan ke Madinah. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan tempat di bagian belakang masjid untuk tempat tinggal mereka. Mereka yang tinggal di tempat itu disebut ahli shuffah (penghuni shuffah). Shuffah artinya tempat yang diberi atap. Tampaknya shuffah ini luas sehingga dapat memuat banyak orang sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakainya untuk walimah yang dihadiri 300 orang sekalipun sebagian mereka duduk pada bagian kamar istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempel pada masjid. (HR. Muslim Kitab Nikah no. 94)
Pada asalnya shuffah ini untuk fuqara (orang-orang fakir) Muhajirin. Selain itu, ia juga menjadi tempat bagi orang-orang yang datang ke Madinah menemui Rasululalh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Demikian pula, ada sebagian Anshar yang lebih mengutamakan hidup zuhud memilih untuk tinggal bersama fuqara Muhajirin dan para pendatang di shuffah walaupun mereka memiliki rumah, seperti: Ka’ab bin Malik, Hanzhalah bin Abi Amir, dan Haritsah bin Nu’man.
Jumlah mereka terkadang banyak atau sedikit tergantung banyak dan sedikitnya para pendatang. Yang tetap sebagai ahli shuffah berkisar 70 orang sahabat. Di antara mereka yang paling terkenal adalah: Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Abdullah bin Mas’ud, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin Yaman, Khabbab bin Arat, Zaid bin Khaththab, Shuhaib ar-Rumi, Bilal bin Rabah, Irbadh bin Sariyah, Syaqran, Safinah maula Rasulullah, dan Salim maula Abu Hudzaifah.
Keadaan Ahli Shuffah
Ahli shuffah, dengan kehidupan mereka yang serba sederhana dan zuhud, benar-benar mencurahkan waktu untuk menuntut ilmu ber-mulazamah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bermulazamah dengan masjid untuk ibadah, serta mengutamakan zuhud dan kefakiran. Karena itu, tidak heran jika di antara mereka ada yang keluar sebagai ahli ilmu, ahli hadis seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, dan Hudzaifah bin Yaman yang menghafal hadis-hadis tentang fitnah.
Dalam keadaan seperti itu bukan berarti mereka hanya mengurusi ibadah dan ilmu untuk diri mereka sendiri. Lebih dari itu, mereka memiliki andil besar dalam masalah-masalah umat. Mereka pun ikut serta dalam jihad fi sabilillah. Bahkan di antara mereka ada yang mati syahid di berbagai peperangan. Ada yang mati syahid di Perang Badar atau Uhud. Ada yang ikut perang Hudaibiyah. Ada yang mati syahid dalam Perang Khaibar, Perang Tabuk, dan Perang Yamamah. Yang jelas, mereka ahli ibadah di masjid pada malam hari dan ahli penunggang kuda di medan perang pada siang hari.
Pakaian mereka sangat terbatas sehingga di antara mereka ada yang hanya memiliki selembar kain saja. Pada musim dingin ada yang pakaiannya hanya sampai setengah betis atau bahkan hanya sampai lutut. Adapun makanan mereka umumnya hanya kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kali mengundang mereka untuk makan di rumah beliau ala kadarnya. Begitu pula para sahabat yang memiliki kelebihan sendiri mengundang ahli shuffah untuk makan di rumah mereka. Akan tetapi, mereka lebih banyak lapar daripada kenyang hingga Abu Hurairah pernah jatuh pingsan antara mimbar dan rumah Aisyah karena sangat lapar. Sungguh mereka puas dengan keterbatasan, makanan yang serba kurang, dan pakaian yang tidak cukup dan layak. Hati mereka bersih sehingga lebih mengutamakan ibadah kepada Allah dan mempelajari ilmu serta berjihad di jalan Allah. Karena itu, sungguh layak mereka dijadikan teladan dalam kezuhudan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sangat memperhatikan keadaan ahli shuffah ini. Beliau menziarahi mereka, menanyakan keadaan mereka, serta menjenguk yang sakit di antara mereka. Sebagaimana beliau sering bermajelis dengan mereka, menasihati dan membantu mereka, membacakan ayat-ayat Alquran kepada mereka, mengajak mereka agar rindu kepada akhirat, dan mendorong mereka agar menganggap hina urusan dunia.
Apabila ada sedekah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mengirimkannya kepada mereka, atau jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat hadian maka beliau mengirimkannya kepada mereka atau beliau mengundang mereka untuk ikut menikmati bersama beliau di rumahnya. Bahkan terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para sahabat untuk mengundang ahli shuffah ikut makan malam di rumah mereka. Sabda beliau, “Siapa di antara kalian yang memiliki makanan untuk dua orang maka hendaknya mengundang orang yang ke-3 dan siapa yang memiliki makanan untuk 4 orang maka mengajak orang yang ke-5 atau yang ke-6.” (HR. Bukhari, no.602). (Sirah oleh Dr. Akram, 1:257-267 dan Sirah Dr. Mahdi, 1:360-368)
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 7 Tahun Ke-8 1430 H/2009
Artikel www.KisahMuslim.com
Posting Komentar