Haidh adalah darah yang sudah dikenal dikalangan wanita dan tidak ada batasan minimal dan maksimalnya dalam syara’ (syariat kita). Ketentuannya kembali kepada kebiasaan masing-masing orang.
Adapun nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan, dan ada batas maksimalnya yaitu empat puluh hari. Jika berhenti sebelum empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi dan melaksanakan shalat.
Adapun darah istihadhah (penyakit) : Darah yang keluar diluar waktu haidh dan nifas atau bersambung setelah haidh dan nifas. Maka wajib bagi seseorang yang mengalaminya untuk tetap melaksanakan shalat, puasa pada bulan Ramadhan dan boleh baginya melakukan hubungan suami istri.
Konsekuensi hukum masing-masing darah:
1. Dari sisi najis dan tidaknya
- Darah haid dan nifas hukumnya najis menurut kesepakatan para ulama.
- Adapun darah istihadah tidak najis.
2. Dari sisi kewajiban shalat, shaum (puasa) Ramadhan dan tidaknya
- Wanita yang sedang haid dan nifas tidak boleh sholat, puasa dan melakukan hubungan suami istri. Tidak ada qada’ dalam shalat dan wajib baginya menqada shaum (puasa) Ramadhan sebanyak puasa yang ia tinggalkan.
- Adapun wanita yang mengalami istihadah maka tetap wajib baginya shalat, puasa dan boleh melakukan hubungan suami istri. Wajib baginya berwudhu setiap kali mau shalat (ketika sudah masuk waktu shalat).
3. Dari sisi boleh tidaknya melakukan hubungan suami istri (jima’) :
- Untuk darah haid dan nifas hukumnya haram tidak boleh. Dibawah ini beberapa kondisi seseorang berhubungan suami istri ketika haidh
- Jika seseorang menyakini kebolehannya berhubungan (menjimai) istrinya ketika sedang haid maka hal ini adalah bentuk kermurtadan dari agama.
- Kalau dia melakukan hubungan suami istri ketika haid dengan tidak menyakini kebolehannya maka dia telah melakukan perbuatan dosa yang sangat besar.
- Berhubungan suami istri (jima’) ketika mengalami darah istihadah boleh hukumnya
4. Kewajiban bagi orang yang melakukan hubungan suami istri ketika haid
- Pertama : Kewajiban dia adalah bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha (sebenarnya) dengan meninggalkan maksiat tersebut, menyesalinya dan berazam untuk tidak mengulanginya selama-lamanya.
- Kedua : Dan menurut pendapat yang kami cenderung kepadanya wajib bagi dirinya membayar kafarah, hal ini berdasarkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang orang yang mendatangi istrinya ketika haidh, beliau bersabda : “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’ai dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Plihan dalam hadits diatas satu dinar jika ia menggauli istrinya diawal-awal keluar darah haid, jika mengauli istrinya dia akhir-akhir darah haid setengah dinar, sebagimana datang sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara Mauquf.
5. dari sisi perbedaan sifat darah haid dan istihadhah :
- Dari sisi warna : Darah haidh berwarna hitam sedang darah istihadah berwarna merah
- Dari sisi tebal dan tipisnya : Darah haidh tebal adapun darah istihadah tipis
- Dari sisi bau dan tidaknya : Darah haidh baunya busuk sedangkan darah isthihadah tidak, karena darah biasa.
- Dari sisi menjadi kental/beku dan tidaknya: Darah haidh tidak membeku apabila keluar dikarenakan darah haid membeku didalam rahim, kemudian keluar dan mengalir tidak kembali untuk kedua kalinya menjadi beku. Adapun darah istihadah membeku.
Ditulis oleh Abu Ibrahim Abdullah al-Jakarta
Posting Komentar