SEPERTI biasa setiap satu bulan sekali Sawitri datang ke tempat praktik saya. Sawitri rajin memeriksakan kandungannya. Sore itu, seperti biasa pula dia memakai baju kembang-kembang cokelat, agak kusam dan lusuh. Dia tak pernah kelihatan berdandan, hanya apa adanya. Saya tidak mempedulikan hal itu, apalagi berminat menanyakannya, apakah baju itu kesukaannya atau memang tidak ada pakaian lagi untuk dipakainya.
Istri Sukarman itu sedang mengandung anak kedua. Usia kehamilannya cukup bulan. Anak pertamanya lahir premature dan persalinannya dibantu oleh dukun bayi. Seharusnya bayi itu segera dirawat di rumah sakit. Tapi, karena tidak punya biaya, maka Sawitri dan suaminya hanya pasrah. Akhirnya, bayi itu meninggal dunia.
Saya berminat sekali menolong keluarga miskin ini. “Ya Allah, semoga niatku terkabulkan dan Engkau memberi jalan yang terbaik bagi mereka,” gumamku.
Sukarman adalah suami yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia rajin bekerja untuk mencari nafkah. Sehari-harinya Sukarman berjualan cilok. (makanan terbuat dari tepung kanji berbentuk bulat yang ditusuk dengan lidi, red). Dia berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain. Dulu, Sukarman bercita-cita ingin sekolah sampai sarjana, tapi kandas karena orang tuanya tak sanggup membiayai sekolahnya.
Sukarman juga sopan dan santun. Selain itu, dia pun taat beribadah. Walau termasuk keluarga miskin, tapi Sukarman tidak mau berpangku tangan. Sifat terpuji itulah yang melekat pada dirinya.
Suatu hari, Sukarman memanggil saya. Dia minta agar saya mau membantu persalinan istrinya. Ya, Sawitri sudah waktunya melahirkan. Saya segera bergegas menuju ke rumahnya.
Saat itu cuaca buruk. Hujan deras yang mengguyur sejak ashar belum berhenti. Namun saya tak mempedulikannya. Saya ingin membantu persalinan Sawitri.
Saya terus berdoa, ”Ya Allah, mudahkanlah urusan ini. Tolonglah hamba-Mu yang dalam kesulitan. Ya Allah, semoga Sawitri dan bayinya lahir normal dan selamat, tak ada hambatan dan risiko apa pun. Ya Allah, Engkau Mahatahu. Engkau Maha Berkehendak.”
Sore menjelang malam. Hujan masih mengguyur. Hanya sesekali saja suara petir masih menggelegar. Saya tak berhenti melangkah. Kaki saya begitu kotor karena cipratan air yang jatuh ke tanah dan mengenai rok panjangku.
Ternyata tempat tinggal Sawitri cukup jauh. Rumahnya di pinggir sawah dan agak jauh dari tetangga. Suara kodok ramai bersahutan, menyambut hujan dan gelapnya malam.
Akhirnya, saya pun tiba di rumah Sawitri. Sangat memprihatinkan. Rumahnya gubuk. Di sana-sini ada air yang menetes dari atap genting yang bocor. Meskipun demikian, saya masih melihat usaha dari si tuan rumah yang selalu berusaha membereskannya, sehingga sedikit tampak rapi. Mungkin itu karena sentuhan tangan Sawitri.
Saya memeriksa Sawitri sangat berhati-hati.
“Sawitri, bersabarlah dan bersiaplah. Yakinlah, Allah pasti menolong,” saran saya pada Sawitri.
Sawitri mengangguk dan tersenyum lugu. Matanya sayu, dan terlihat begitu pasrah dengan keadaannya.
Alhamdulillah, satu jam telah berlalu. Sawitri sudah melahirkan bayinya dengan normal dan selamat. Bayi perempuan mirip ibunya itu berat badannya 2.600 gram dan panjangnya 48 centi meter.
Sawitri dan Sukarman terlihat bahagia menyambut kedatangan si jabang bayi.
“Terimakasih Bu Bidan, atas bantuannya,” ujar Sukarman sambil tersenyum, di wajahnya masih tampak raut kebahagiaan.Istri Sukarman itu sedang mengandung anak kedua. Usia kehamilannya cukup bulan. Anak pertamanya lahir premature dan persalinannya dibantu oleh dukun bayi. Seharusnya bayi itu segera dirawat di rumah sakit. Tapi, karena tidak punya biaya, maka Sawitri dan suaminya hanya pasrah. Akhirnya, bayi itu meninggal dunia.
Saya berminat sekali menolong keluarga miskin ini. “Ya Allah, semoga niatku terkabulkan dan Engkau memberi jalan yang terbaik bagi mereka,” gumamku.
Sukarman adalah suami yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia rajin bekerja untuk mencari nafkah. Sehari-harinya Sukarman berjualan cilok. (makanan terbuat dari tepung kanji berbentuk bulat yang ditusuk dengan lidi, red). Dia berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain. Dulu, Sukarman bercita-cita ingin sekolah sampai sarjana, tapi kandas karena orang tuanya tak sanggup membiayai sekolahnya.
Sukarman juga sopan dan santun. Selain itu, dia pun taat beribadah. Walau termasuk keluarga miskin, tapi Sukarman tidak mau berpangku tangan. Sifat terpuji itulah yang melekat pada dirinya.
Suatu hari, Sukarman memanggil saya. Dia minta agar saya mau membantu persalinan istrinya. Ya, Sawitri sudah waktunya melahirkan. Saya segera bergegas menuju ke rumahnya.
Saat itu cuaca buruk. Hujan deras yang mengguyur sejak ashar belum berhenti. Namun saya tak mempedulikannya. Saya ingin membantu persalinan Sawitri.
Saya terus berdoa, ”Ya Allah, mudahkanlah urusan ini. Tolonglah hamba-Mu yang dalam kesulitan. Ya Allah, semoga Sawitri dan bayinya lahir normal dan selamat, tak ada hambatan dan risiko apa pun. Ya Allah, Engkau Mahatahu. Engkau Maha Berkehendak.”
Sore menjelang malam. Hujan masih mengguyur. Hanya sesekali saja suara petir masih menggelegar. Saya tak berhenti melangkah. Kaki saya begitu kotor karena cipratan air yang jatuh ke tanah dan mengenai rok panjangku.
Ternyata tempat tinggal Sawitri cukup jauh. Rumahnya di pinggir sawah dan agak jauh dari tetangga. Suara kodok ramai bersahutan, menyambut hujan dan gelapnya malam.
Akhirnya, saya pun tiba di rumah Sawitri. Sangat memprihatinkan. Rumahnya gubuk. Di sana-sini ada air yang menetes dari atap genting yang bocor. Meskipun demikian, saya masih melihat usaha dari si tuan rumah yang selalu berusaha membereskannya, sehingga sedikit tampak rapi. Mungkin itu karena sentuhan tangan Sawitri.
Saya memeriksa Sawitri sangat berhati-hati.
“Sawitri, bersabarlah dan bersiaplah. Yakinlah, Allah pasti menolong,” saran saya pada Sawitri.
Sawitri mengangguk dan tersenyum lugu. Matanya sayu, dan terlihat begitu pasrah dengan keadaannya.
Alhamdulillah, satu jam telah berlalu. Sawitri sudah melahirkan bayinya dengan normal dan selamat. Bayi perempuan mirip ibunya itu berat badannya 2.600 gram dan panjangnya 48 centi meter.
Sawitri dan Sukarman terlihat bahagia menyambut kedatangan si jabang bayi.
“Sukarman, Sawitri, bersyukurlah pada Allah. Dialah yang menolong kita. Kalian berdua sekarang sudah diamanahi seorang bayi yang cantik, semoga kalian bisa merawatnya dengan baik,” pesan saya padanya.
Saat saya hendak pulang, saya masih berpesan, “Sawitri, besok dan lima hari kedepan, saya akan selalu datang sampai kamu sehat dan puput pusar. Jangan cemas dan khawatir.”
Setelah sepekan berlalu, tali pusar bayinya sudah lepas. Sebagai tanda syukur, Sukarman membagikan bungkusan nasi kuning kepada anak-anak tetangga terdekatnya. “Silahkan Bu Bidan dicicipi!” ujar Sukarman sambil memberi saya sepiring nasi kuning.
Sebelum saya pulang, mereka memberi bungkusan plastik.
“Bu Bidan, terimalah pemberian kami ini. Jumlahnya sedikit, tapi kami mohon Ibu jangan kecewa dan kapok. Juga bila ada kekurangan kami mohon maaf. Insya Allah, nanti akan kami bayar,” Sukarman menjelaskan dengan penuh perasaaan.
Saya tertegun sambil menetap mereka berdua. Bungkusan itu lalu saya buka. Isinya ternyata uang recehan.
“Sukarman, Sawitri, saya berterimakasih apa yang kalian berikan. Kalian berdua memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Saya juga bangga atas kerja keras dan pengorbanan kalian. Semoga Allah senantiasa memberi rezeki kepada kalian yang cukup, halal dan baik. Masih banyak kebutuhan yang kalian perlukan. Silahkan uang ini kalian pakai untuk kebutuhan si jabang bayi.”
Sukarman dan Sawitri tertunduk.
Ya Allah, dengan izin-Mu bayi itu lahir ke dunia. Dan dengan kehendak-Mu juga saya akhirnya diberi kesempatan membantu mereka. Terima kasih ya Allah.*/Seperti yang diceritakan bidan Tati Rahayu Kusumahati kepada Dadang Kusmayadi
sumber
Posting Komentar