Saat seorang bunda
berkiprah di dunia kerja
Misi suci yang diembannya.
Semua karya dan manfaat dunia kerja
Hendaknya sebanding dengan pengorbanan
Meninggalkan ananda.
Betapa galau hati seorang bunda
Tatkala tuntutan dunia kerja mulai tak searah
Dengan bisikan nurani suci.
Saat tangan harus melakoni
Hal yang bertentangan dengan bisikan hati
Nurani terkebiri.
Maka dimulailah jihad itu
Dengan ucapan “Bismillah”
Sang bunda membulatkan tekad
Stelan jas kantor kini telah berganti
Dengan kebaya Muslimah model terkini
Rekan dan sejawat telah berganti
Dengan ahli bordir, jahit dan desainer bergengsi.
Ternyata dengan beristiqamah di jalan-Nya
Tuhan membukakan jalan
Seorang bunda pekerja telah menjelma
Menjadi seorang bunda pengusaha
Dalam keramahan surga dunia
“Baiti Jannati”
berkiprah di dunia kerja
Misi suci yang diembannya.
Semua karya dan manfaat dunia kerja
Hendaknya sebanding dengan pengorbanan
Meninggalkan ananda.
Betapa galau hati seorang bunda
Tatkala tuntutan dunia kerja mulai tak searah
Dengan bisikan nurani suci.
Saat tangan harus melakoni
Hal yang bertentangan dengan bisikan hati
Nurani terkebiri.
Maka dimulailah jihad itu
Dengan ucapan “Bismillah”
Sang bunda membulatkan tekad
Stelan jas kantor kini telah berganti
Dengan kebaya Muslimah model terkini
Rekan dan sejawat telah berganti
Dengan ahli bordir, jahit dan desainer bergengsi.
Ternyata dengan beristiqamah di jalan-Nya
Tuhan membukakan jalan
Seorang bunda pekerja telah menjelma
Menjadi seorang bunda pengusaha
Dalam keramahan surga dunia
“Baiti Jannati”
Sahabatku menumpahkan kekesalan hatinya.
“Bayangkan! Dengan kedua tanganku ini, aku telah menandatangani hal-hal yang bertentangan dengan nuraniku, dan semuanya demi mempertahankan karir dan jabatan. Sungguh bagai mendapat himpitan berat di dada, aku bagai terbelah dua. Sebagian diriku mengatakan tidak! Aku tidak akan larut tercebur pada arus yang tidak sesuai dengan jalan-Nya. Tetapi sebagian diriku lagi berkata, 15 tahun lebih meniti karir akankah semudah itu sirna?”
Mendengarkan keluh kesahnya, sejujurnya aku turut prihatin. Aku dapat membayangkan perjuangan batin yang dialami sahabatku.
Hari-harinya selama ini dilalui sebagai seorang wanita karir yang mengabdikan diri pada kepentingan pekerjaan dan kepentingan sang pemilik modal. Sahabat karibku ini mempunyai tekad yang membara. Selama ini pilihan yang berat sebagai seorang wanita karir profesional telah dijalaninya demi aktualisasi diri dan memanfaatkan ilmu yang telah dituntutnya.
Namun sejak berganti kepemilikan di perusahaan tempatnya bekerja, tumbuh budaya baru yang praktik manajemennya berlawanan dengan bisikan nurani. Peraturan yang jelas dan selama ini ditegakkan dengan teguh, harus dianulir dan dipelintir sedemikian rupa demi keuntungan si pemilik modal.
Sahabatku sebagai orang kepercayaan harus mengesahkan langsung melalui goresan tanda tangannya. Ia dikondisikan untuk menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan hati nuraninya. Untuk melawan, ia sungguh tak kuasa. Dirinya bagaikan sebongkah tanah yang melawan air bah yang melanda.
Kini dilema hidup sebagai ibu yang membina karir semakin meruncing. Kalau selama ini ia masih bertahan karena meniatkan kerja sebagai salah satu sarananya dalam beribadah, namun niat itu kini tidak lagi menemukan pembenaran. Ia berperang dengan hati nuraninya.
Hari-hari penuh munajat dan shalat istikharah dilaluinya. Namun kelihatannya belum berhasil tuntas menjawab kemelut di dalam hati. Hingga untuk ber-khalwat dan mengadukan ihwal dirinya pada Sang Khalik, sahabatku bertekad untuk melaksanakan umrah. Ia begitu merindukan hari-hari penuh kemesraan berkomunikasi dengan-Nya, ketika antara dirinya dan rumah Allah tiada secarik tabir pun yang menghalangi.
Sahabatku bercerita bahwa kekhusyukannya berumrah semakin terasa kental auranya ketika bulan Ramadhan tiba. Ia berkesempatan untuk lebih banyak lagi merenung dan meng-hisab kembali peran dirinya dalam kehidupan.
Penggodogan umraoh, ramadhan, puasa, shalat tarawih, muhasabah, dan i’tikaf di tengah keheningan malam, rupanya telah membukakan pintu hati nuraninya. Lima belas tahun karir yang dilalui dan dipertahankannya selama ini, menjadi tak berarti apa-apa bila dibanding tekanan batin yang kini diterimanya. Perlawatannya ke tanah suci begitu mencerahkan. Hatinya kini terbuka terang benderang dengan sinaran kasih-Nya yang tak pernah pupus pada hamba-Nya yang ridha.
Sekembalinya dari tanah suci dengan bertekad kembali kepada fitrah, sahabatku membulatkan tekadnya dan mengajukan permohonan pensiun dini. Ia yakin bila satu pintu jalan rezeki harus ditutup karena semangat beristiqamah untuk berjalan selalu di jalan-Nya, maka pasti akan ada pintu lain yang terbuka.
Begitulah, ia mulai merintis jalur karir yang sama sekali berbeda. Membangun home industry butik Muslimah langsung di kepermaian rumahnya. Ia tak gentar meski harus berganti posisi, dari seorang eksekutif yang penuh jaminan gaji bulanan, belum lagi bonus-bonus serta insentif rutin, menjadi seorang pengusaha yang harus rela berinvestasi untuk suatu hasil yang tidak segera langsung dapat dinikmati. Apalagi bila dia kembali mengingat nawaitu awal membangun bisnis mulia ini. Selain mengembangkan usaha yang lebih sesuai dengan nurani diri, juga berniat untuk menawarkan lapangan pekerjaan, yang insya Allah dapat turut mengurangi jumlah angka-angka kaum pengangguran.
Sahabatku mengaku merasa dirinya seperti dilahirkan kembali. Ia berhasil mengambil suatu keputusan berat untuk menanggalkan karir yang telah dirintisnya selama 15 tahun. Karir yang selama ini menggembleng dirinya menjadi seorang wanita karir yang profesional.
Kemarin aku bertemu kembali dengan sahabatku. Kutemukan aura yang berbeda pada dirinya. Wajahnya cerah dan bersinar. Di rumahnya telah berdiri sebuah butik Muslimah yang berhasil memberikan lahan pekerjaan pada lingkungan sekitarnya.
Dari rumah, sambil mendidik langsung si buah hati, ia mengendalikan bisnis keluarga, yang prospeknya amat menjanjikan. Malaysia dan Brunei Darussalam hanyalah sebagian dari sasaran ekspor dari hasil karya butiknya. Diam-diam sahabatku telah menjelma dari seorang pegawai yang dipaksa untuk mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, menjadi seorang penyedia lapangan pekerjaan yang sekaligus berkontribusi terhadap devisa negara melalui produk ekspornya.
Ia berbisik, “Kemarin, ketika aku bertemu dengan bekas kolegaku yang masih berkutat sebagai wanita karir profesional, hampir saja aku merasa minder dan malu karena posisi baruku sebagai ibu rumah tangga. Namun aku segera tersadar, kujabat tangannya dan kukatakan padanya, ‘Perkenalkan, Rini yang baru, yang telah kembali pada fitrahnya, sebagai bunda yang profesional.’”
“Kau tak dapat membayangkan,” tambahnya, “betapa damainya hati ini. Ternyata, seiring dengan hari kemenangan, sahabatku itu telah terlahir kembali dan menemukan jati dirinya.*/Amelia Naim
Mendengarkan keluh kesahnya, sejujurnya aku turut prihatin. Aku dapat membayangkan perjuangan batin yang dialami sahabatku.
Hari-harinya selama ini dilalui sebagai seorang wanita karir yang mengabdikan diri pada kepentingan pekerjaan dan kepentingan sang pemilik modal. Sahabat karibku ini mempunyai tekad yang membara. Selama ini pilihan yang berat sebagai seorang wanita karir profesional telah dijalaninya demi aktualisasi diri dan memanfaatkan ilmu yang telah dituntutnya.
Namun sejak berganti kepemilikan di perusahaan tempatnya bekerja, tumbuh budaya baru yang praktik manajemennya berlawanan dengan bisikan nurani. Peraturan yang jelas dan selama ini ditegakkan dengan teguh, harus dianulir dan dipelintir sedemikian rupa demi keuntungan si pemilik modal.
Sahabatku sebagai orang kepercayaan harus mengesahkan langsung melalui goresan tanda tangannya. Ia dikondisikan untuk menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan hati nuraninya. Untuk melawan, ia sungguh tak kuasa. Dirinya bagaikan sebongkah tanah yang melawan air bah yang melanda.
Kini dilema hidup sebagai ibu yang membina karir semakin meruncing. Kalau selama ini ia masih bertahan karena meniatkan kerja sebagai salah satu sarananya dalam beribadah, namun niat itu kini tidak lagi menemukan pembenaran. Ia berperang dengan hati nuraninya.
Hari-hari penuh munajat dan shalat istikharah dilaluinya. Namun kelihatannya belum berhasil tuntas menjawab kemelut di dalam hati. Hingga untuk ber-khalwat dan mengadukan ihwal dirinya pada Sang Khalik, sahabatku bertekad untuk melaksanakan umrah. Ia begitu merindukan hari-hari penuh kemesraan berkomunikasi dengan-Nya, ketika antara dirinya dan rumah Allah tiada secarik tabir pun yang menghalangi.
Sahabatku bercerita bahwa kekhusyukannya berumrah semakin terasa kental auranya ketika bulan Ramadhan tiba. Ia berkesempatan untuk lebih banyak lagi merenung dan meng-hisab kembali peran dirinya dalam kehidupan.
Penggodogan umraoh, ramadhan, puasa, shalat tarawih, muhasabah, dan i’tikaf di tengah keheningan malam, rupanya telah membukakan pintu hati nuraninya. Lima belas tahun karir yang dilalui dan dipertahankannya selama ini, menjadi tak berarti apa-apa bila dibanding tekanan batin yang kini diterimanya. Perlawatannya ke tanah suci begitu mencerahkan. Hatinya kini terbuka terang benderang dengan sinaran kasih-Nya yang tak pernah pupus pada hamba-Nya yang ridha.
Sekembalinya dari tanah suci dengan bertekad kembali kepada fitrah, sahabatku membulatkan tekadnya dan mengajukan permohonan pensiun dini. Ia yakin bila satu pintu jalan rezeki harus ditutup karena semangat beristiqamah untuk berjalan selalu di jalan-Nya, maka pasti akan ada pintu lain yang terbuka.
Begitulah, ia mulai merintis jalur karir yang sama sekali berbeda. Membangun home industry butik Muslimah langsung di kepermaian rumahnya. Ia tak gentar meski harus berganti posisi, dari seorang eksekutif yang penuh jaminan gaji bulanan, belum lagi bonus-bonus serta insentif rutin, menjadi seorang pengusaha yang harus rela berinvestasi untuk suatu hasil yang tidak segera langsung dapat dinikmati. Apalagi bila dia kembali mengingat nawaitu awal membangun bisnis mulia ini. Selain mengembangkan usaha yang lebih sesuai dengan nurani diri, juga berniat untuk menawarkan lapangan pekerjaan, yang insya Allah dapat turut mengurangi jumlah angka-angka kaum pengangguran.
Sahabatku mengaku merasa dirinya seperti dilahirkan kembali. Ia berhasil mengambil suatu keputusan berat untuk menanggalkan karir yang telah dirintisnya selama 15 tahun. Karir yang selama ini menggembleng dirinya menjadi seorang wanita karir yang profesional.
Kemarin aku bertemu kembali dengan sahabatku. Kutemukan aura yang berbeda pada dirinya. Wajahnya cerah dan bersinar. Di rumahnya telah berdiri sebuah butik Muslimah yang berhasil memberikan lahan pekerjaan pada lingkungan sekitarnya.
Dari rumah, sambil mendidik langsung si buah hati, ia mengendalikan bisnis keluarga, yang prospeknya amat menjanjikan. Malaysia dan Brunei Darussalam hanyalah sebagian dari sasaran ekspor dari hasil karya butiknya. Diam-diam sahabatku telah menjelma dari seorang pegawai yang dipaksa untuk mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, menjadi seorang penyedia lapangan pekerjaan yang sekaligus berkontribusi terhadap devisa negara melalui produk ekspornya.
Ia berbisik, “Kemarin, ketika aku bertemu dengan bekas kolegaku yang masih berkutat sebagai wanita karir profesional, hampir saja aku merasa minder dan malu karena posisi baruku sebagai ibu rumah tangga. Namun aku segera tersadar, kujabat tangannya dan kukatakan padanya, ‘Perkenalkan, Rini yang baru, yang telah kembali pada fitrahnya, sebagai bunda yang profesional.’”
“Kau tak dapat membayangkan,” tambahnya, “betapa damainya hati ini. Ternyata, seiring dengan hari kemenangan, sahabatku itu telah terlahir kembali dan menemukan jati dirinya.*/Amelia Naim
Posting Komentar