SUATU siang, dalam suasana santai, kami sekeluarga bercengkerama. Suasana yang memang tidak setiap saat bisa kami dapatkan. Siang itu, sulung kami yang baru 4 tahun mencium ibunya. Sebuah ekspresi yang teramat jarang mengingat sulung kami adalah anak laki-laki banyak gerak yang jarang-jarang bersikap sentimentil begitu.
Tiba-tiba…
“Bapak…aku sayang sekali sama Ibu,”
Saya terhenyak. Apalagi ibunya. Tapi sedetik kemudian ada pendar-pendar cahaya di matanya.
“Oya…kenapa memangnya…?”
Aha…saya jadi penasaran. Tumben…jagoan saya bilang sayang-sayang.
“Karena Ibu pekerjaannya banyak…,”
Wow…, sulung saya rupanya pengamat ibunya. Kali ini tentang pekerjaannya.
“Apa saja?” kejar saya. “Satu…,”
“Menjahit…,”
Betul. Itu adalah salah satu usaha istri saya di rumah. Ada konveksi kecil-kecilan yang sedang kami usahakan untuk jadi kuat keberadaanya.
“Dua..?”
“Ngajari mbak-mbak…,” jawabnya lagi mantap.
Nah…ini juga kegiatan istri saya di rumah. Kebetulan kami juga memiliki bimbingan belajar kecil-kecilan melayani masyarakat sekitar. Ada beberapa tentor yang kami rekrut. Tapi istri saya kadang-kadang juga turun tangan meladeni anak-anak.
“Tiga…,” Saya kejar terus sulung saya ini. Saya jadi tambah penasaran, sejauh mana pengamatannya terhadap kami, orang tuanya.
“Pergi…,”
Oooo…ternyata ibunya yang sering keluar rumah untuk kulakan ke pasar lah, atau untuk nemui pelanggan lah, atau untuk urusan apa lah, termasuk kategori pekerjaan bagi dia.
“Empat…,” Saya tidak tahu dia akan menjawab sampai angka berapa. Jelasnya, akan saya kejar terus…
“Mmmm…..,” Dia diam sesaat. “Neteki adik…,”
Wow…itu juga pekerjaan rupanya.
“Lima …,” Ia menggeleng. Habis sudah rupanya. “Kalau Bapak, pekerjaanya apa?” Giliran saya, penasaran terhadap penilaiannya terhadap Bapaknya.
“Bapak pekerjaannya pergi…,”
Ya. Jauh lebih sederhana dibanding pekerjaan ibu yang, menurut pengamatannya, jauh lebih banyak.
***
Pengamatan sulung saya mengenai ibunya, mungkin juga dilakukan oleh anak-anak dalam keluarga manapun. Tersampaikan atau tidak, itu bedanya. Satu hal yang kemudian saya fahami, bahwa rupanya anak-anak teramat jeli mengamati kegiatan ibunya, dan efeknya luar biasa. Anak-anak, terutama sulung saya yang baru 4 tahun itu, begitu respect dengan ibunya. Bagi saya, hal ini luar biasa, karena bagaimanapun, saya ikut bertanggung jawab apakah anak-anak saya mampu menghormati orang tuanya, terutama ibunya. Lantas bagaimana dengan para ibu yang (maaf) sering terucap banyak keluh, sehingga hilang kemuliaannya di hadapan anak-anaknya? ??
Pentingnya Apresiasi Terhadap Ibu
Bermula dari celotehan anak, maka ijinkanlah saya berbincang sejenak sebagai seorang laki-laki (suami/bapak) . Banyak dari kita, kaum suami/ bapak, luput memperhatikan bagaimana para istri, ibu dari anak-anak kita berjibaku dengan seabrek kegiatan rumah.
Kita tidak pernah tahu, sesungguhnya bukan hal yang mudah bagi seorang ibu untuk mengurus anak-anak, kemudian mempersiapkan hidangan sedemikian rupa karena ingat kita, suaminya, segera pulang kerja. Plus kemudian harus segera merapikan rumah setelah beradu kesabaran dengan anak-anak yang terkadang, hampir-hampir, tidak bisa diajak bekerja sama untuk menjaga kerapihan rumah.
Saya, mungkin juga Anda, luput memperhatikan itu semua.
Bagi kita, pulang ke rumah bagaikan memasuki zona kenyamanan, dimana istri menyambut dengan senyum. Tersedia teh manis yang membuat urat-urat kelelahan mengendur, plus rumah yang rapi, yang membuat kita ekstra bebas menyelonjorkan badan. Tidak terpikirkan oleh kita bahwa untuk menciptakan itu semua, butuh kerja keras yang teramat luar biasa, bahkan bisa saja melebihi pekerjaan kita.
Karena tidak pernah memperhatikan itu semua, plus para istri tidak pernah mengeluhkan pekerjaannya, maka kita seringkali menganggap hal itu biasa saja. Dan karena menganggap hal itu biasa saja, maka luput bagi kita memberikan apresiasi terhadap para istri.
Apresiasi yang diberikan pada sulung saya siang itu, membukakan kesadaran saya.
Ibunya, dengan ekspresinya yang sederhana namun tampak bahagia. Keberadaannya di rumah, betul-betul bisa melihat bagaimana ibunya berjibaku dengan pekerjaannya sendiri, juga pekerjaan-pekerjaan lain, plus merawat adik kecilnya. Pastilah bukan pekerjaan yang mudah menurut dia. Berawal dari situlah, maka saya bertanya, apresiasi apa yang telah saya berikan padanya?
Kita yakin, bahwa istri-istri kita bukanlah perempuan yang gila pujian. Bukan pula perempuan yang gila penghargaan atas semua pengabdiannya. Tentu tidak. Tapi apresiasi, dalam bentuk apapun, pastilah akan membuat sedikit penatnya berkurang, dan garis-garis kelelahannya berganti senyum.
Terakhir, tidak berlebihan kiranya jika kita mulai memberikan sedikit (ya, karena kalau sering-sering bisa jadi hilang rasa istimewanya) apresiasi kepada para istri kita, ibu anak-anak kita. Tidak perlu berlebihan. Namun jika disampaikan pada saat yang tepat, apresiasi berupa pujian atau penghargaan dalam bentuk apapun, akan membuat perasaan pasangan kita lebih dihargai, dicintai, dan dipercaya. Lebih jauh lagi, hal ini akan meningkatkan keharmonisan rumah tangga.
Jadi, jangan ragu memuji atau mengucapkan terima kasih pada istri Anda. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam (SAW), manusia teladan itu telah mencontohkan perilaku-perilaku terbaiknya kepada istri-istri beliau, yang kesemuanya, patut kita contoh.
Bukankah sebuah hadits mengatakan, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya,” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi).*/Amin Suwarto
sumber
Posting Komentar