Agama bukanlah ephipenomena dalam kehidupan sosial manusia. Agama merupakan alat legitimasi atas realitas kehidupan sosial masyarakat yang efektif (Berger, 1991:40). Efektifitas agama sebagai instrumen legitimasi kehidupan sosial itu terjadi karena pemikiran keagamaan dapat menghubungkan konstruksi tentang kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau oleh ‘nalar’ manusia dan juga konstruksi tentang kehidupan setelah mati, dan kehidupan supranatural. Perubahan sosial yang terus terjadi, juga tidak dapat mengelakkan efektifitas agama dalam melegitimasi konstruksi tentang tatanan realitas sosial. Konflik dan harmoni yang datang silih berganti terjadi, juga tidak terlepas dari efektifitas peran agama itu dalam mempengaruhi kehidupan sosial.
Peran agama dalam kehidupan individu dan masyarakat yang terus berkembang, dan juga sebaliknya bagaimana tuntutan akan perubahaan dalam kehidupan sosial itu telah membentuk konstruksi pemikiran dan perilaku religius masyarakat, menuntut arah baru dalam studi agama-agama, yaitu perlunya pendekatan yang bersifat multidimensional. Oleh karena itu, sudah menjadi satu keharusan jika arah baru studi agama dewasa ini cenderung tidak sekedar memberi tekanan pada penggunaan pendekatan teologis semata, tetapi juga secara komprehensif menggunakan pendekatan sebagaimana berkembang dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, seperti pendekatan historis, psikologi, sosilogi, antropologi, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Demikian halnya kecenderungan dalam kajian Islam dewasa ini, juga tidak sekedar murni kajian keislaman, namun kajian itu mulai diintegrasikan dengan bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial-humaniora dan juga bidang sains dan teknologi.
Memahami Agama melalui perspektif sosiologi pada dasarnya merupakan sebuah cara atau jalan untuk memandang agama dengan memberi fokus perhatian pada aspek kemanusian (khususnya aspek sosial) dalam sistem keyakinan dan praktek keagamaan. (Mc Guire, 1992: 7-8). Oleh karena itu sosiologi agama sering dirumuskan sebagai studi tentang keterkaitan antara agama dan masyarakat, dan juga bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi akibat adanya dialektika yang terjadi antara agama di satu sisi dengan masyarakat pada sisi yang lain ( Wach: 1943:11; Nottingham, 1954:1; Schneider, 1970:12). Dengan demikian seorang sosiolog bertugas “menangkap” semua hal yang terkait dengan realitas sosial serta korelasinya dengan agama, artinya sosiolog harus memahami agama itu dan bagaimana agama itu berlaku dalam konteks sosial.
Dalam kajian agama dengan perspektif sosiologi ini, maka agama memiliki makna yang berkaitan dengan kelompok sosial (meaning for social group) dan sistem makna yang berkaitan dengan kehidupan individu-individu sebagai bagian dari kelompok sosial (individual’s meaning system) (Lessa & Vogt, 1972 :1; Mc Guire, 1992 : 8). Maknanya dalam kelompok sosial terkait dengan peran agama itu sebagai aturan normatif yang secara sosial meligitimasi tindakan sosial. Agama dalam hal ini, menurut Robert N. Bellah dapat dipandang sebagai “nilai sentral” yang berperan dalam sebuah sistem sosial (Hafitdz, 1992: 244-277). Sebagai contoh adalah bagaimana aturan tentang kasta dalam agama Hindhu telah melegitimasi struktur sosial yang terdiferensiasi dalam kelas-kelas sosial.
Maknanya bagi individu, maka agama memberikan identitas diri, memberi bimbingan “way of life”, pandangan hidup. Sebagai identitas diri, maka sistem keyakinan dan praktek keagamaan individu telah menjadi pembeda antara “saya atau kami” dengan “dia atau mereka”. Sebagai pandangan hidup maka agama menjadi sistem nilai yang mengatur tingkah laku individu penganut agama itu.
Ada dua hal pokok yang menjadi ciri khas pendekatan sosiologi dalam studi agama. Dua karakteristik persepektif sosiologi tentang agama itu adalah; empiris (empirical) dan obyektif (objective). Bukti empiris menjadi basis interpretasi, artinya sosiolog melakukan interpretasi dengan mendasarkan pada bukti-bukti empiris. Melakukan verifikasi atas tamsil dan penjelasan mereka terhadap realitas sosial yang ada melalui kajian eksperimental dan data eksperensial.
Dari sinilah, maka wahyu bagi sosiolog dipahami bukan sebagai realitas dalam pengertian realitas itu sendiri (realitas an sich). Namun, pemahaman atas wahyu didasarkan atas fakta, bahwa para pengahut agama meyakini wahyu itu sebagai sebuah realitas. Dengan demikian pada hakikatnya sosiolog berkeyakinan bahwa dengan menganalisis berbagai pengalaman dari berbagai masyarakat, dia dapat menampilkan seperangkat keyakinan dan praktek agama tertentu untuk dipahami (Scharf, 1995:3).
Memahami agama secara obyektif (understanding religion from “objectively studied data”) terkait dengan masalah bahwa sosiolog berusaha menampilkan fakta-fakta tanpa bias (Wach, 1962: 5-8). Atau dalam pengertian lain bahwa interpretasi sosiologi tidak bisa dibenarkan atau disalahkan melalui doktrin agama tertentu. Tidak ada superioritas satu agama terhadap agama lainnya dalam interpretasi sosiologis. Tidak ada kalim benar salah terhadap agama-agama bagi seorang sosiolog.
Inilah yang membedakan antara perspektif penganut agama (religious believer) dengan perspektif seorang sosiolog (sosiologist) dalam memandang agama-agama. Penganut agama cenderung memiliki pandangan superioritas terhadap salah satu agama terhadap agama lainnya, sementara bagi sosiolog lebih bersifat netral, tidak ada klaim kebenaran yang tunggal. Penganut agama cenderung bersikap subyektif dalam melihat kehadiran agama-agama lain, selain agama yang dianutnya. Sementara, bagi seorang sosiolog, kehadiran agama-agama itu selalui dipotret dalam pengamatan empiris dan interpretasi melalui telaah antara konsep-konsep dan realitas empiris secara obyektif.
Menurut Bellah (2000:3), terdapat tiga tipe utama kajian agama yang dilakukan oleh seorang sosiolog. Pertama, para sosiolog mengkaji agama sebagai persoalan teoritis yang utama dalam upaya memahami tindakan sosial. Kedua, melalui pendekatan sosiologis, para sosiolog melihat relasi antara institusi dan dimensi-dimensi religius lainnya dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, organisasi sosial, kesenian, dan sebagainya. Adapun tipe kajian sosiologi agama yang ketiga adalah mempelajari peran, organisasi, dan gerakan-gerakan keagamaan.
Dengan mengikuti Geertz (1978:7-9), dalam pengertian agama sebagai sistem sosial budaya, tercakup dua dimensi agama yaitu dimensi agama sebagai model untuk (model for) dan dan dimensi agama sebagai model mengenai (model of). Model for bersifat abstrak, ia adalah dogma, teori, atau doktrin untuk suatu realitas yang tidak berhubungan dengan kondisi atau struktur sosial. Sementara model of bersifat konkret, ia berhubungan dengan struktur sosial masyarakat, sesuatu “realitas” yang sesungguhnya terjadi.
Dengan demikian, sebagai satu contoh kasus dalam konteks sosial keagamaan di Indonesia, dengan memahami bahwa agama meliputi model of dan model for tersebut, maka mahasiswa Sosiologi Agama mesti memahami bahwa Islam di Indonesia adalah mayoritas, namun mengapa Islam di Indonesia itu ternyata banyak variasinya. Dengan kerangka metodologi itu, kita juga memahami mengapa Geertz (1967) mensinyalir bahwa di Jawa kita mengenal agama abangan dan agama santri, mengapa ada agama lokal, atau mengapa agama-agama besar begitu pesat berkembang di Indonesia namun identitas budaya keIndonesiaan tetap lekat pada keberagamaan mereka.
Posting Komentar