Mengukur Rasa Cinta

0 komentar

Banyak orang menyatakan bahwa rasa cinta itu tidak bisa diukur. Sebab, jika bisa diukur, apa satuan yang tepat untuk mengukurnya? Meter? Kilometer? Gram? Ton? Kwintal? Hektar? Ons? Atau satuan-satuan lain yang bersifat matematis? Ternyata tidak satu pun orang bisa mengukurnya dengan satuan-satuan tertentu. Oleh karena itu, rasa cinta tidak akan bisa diukur dengan apapun juga. Bahkan tidak ada alat atau sarana yang bisa digunakan untuk mengukur rasa cinta. Lalu mengapa ada orang yang menyatakan bahwa cintanya sebesar gunung, setinggi langit, sedalam lautan, dan seluas samudra? Bukankah gunung, laut, dan samudra itu juga bisa diukur? Kalau langit? Wallahu a’lam. Namun yang jelas, ungkapan-ungkapan seperti itu nyaring terdengar di telinga kita untuk menunjukkan betapa besar cinta kita.
Saya berpendapat, mungkin kurang tepat jika dikatakan bahwa cinta tidak dapat diukur. Walaupun tidak memiliki satuan ukuran, tetapi ada hal-hal yang bisa digunakan untuk mengukur rasa cinta, yaitu perhatian, pengorbanan, dan rasa memiliki. Ketiga hal inilah yang bisa kita gunakan untuk mengukur seberapa besar rasa cinta kita terhadap sesuatu.
1. PERHATIAN
Perhatian adalah minat seseorang atas sesuatu. Perhatian bisa kita artikan sebagai perbuatan memikirkan sesuatu. Mengapa dipikirkan? Namanya juga perhatian. Orang yang memberikan perhatian terhadap sesuatu, berarti dia telah memfokuskan pemikirannya pada hal-hal yang dia cintai.
Sebagai contoh, ketika kita mencintai salah satu harta kita, motor misalnya. Maka perhatian kita pada motor tersebut tentu melebihi perhatian kita pada tas, sepatu, televisi, buku, atau yang lainnya. Tentu, kita akan memberikan perhatian khusus kepada motor kita tersebut. Kita membersihkannya setiap hari. Tidak cukup diusap memakai kain bekas, bahkan mencucinya setiap hari pun, tentu akan kita lakukan. Kita akan sering memikirkan motor tersebut. Misalnya, kita memikirkan bagaimana agar motor kita itu dimodifikasi seperti ini atau seperti yang lain. Ya, kita memikirkan motor kita, kita perhatian pada motor kita, itu karena kita mencintainya.
Begitu juga, ketika kita mencintai lawan jenis kita. Terlepas dari halal-haramnya, perhatian pun juga akan tertuju ke sana. Mencari-cari dimana dia berada. Kita memikirkannya setiap saat. Mengapa bisa begitu? Namanya juga perhatian. Tidak kelihatan sehari saja, kita kebingungan. Ada yang hilang sepertinya. Mengapa? Sekali lagi, namanya juga perhatian. Jika tidak kelihatan, perhatian ini akan diberikan kepada siapa? Bingung ‘kan?
Hal lain yang sering dijadikan perhatian adalah keluarga kita. Seberapa besar perhatian kita terhadap keluarga kita? Terhadap istri, anak, suami, ayah, ibu, kakak, adik, dan lain-lain. Berapa kali dalam sehari kita memikirkan mereka? Mungkin melebihi dosis orang minum obat. Pagi dipikirkan, menjelang siang dipikirkan. Tengah hari dipikirkan lagi, kemudian menjelang sore dipikirkan lagi. Sore dipikirkan, sampai Magrib, habis Isya bahkan sampai menjelang Subuh pun masih juga dipikirkan. Sampai kapan kira-kira? Entahlah. Yang jelas, perhatian itu telah menunjukkan, besar-kecilnya rasa cinta.
2. PENGORBANAN
Pengorbanan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang kita berikan kepada sesuatu yang kita miliki tersebut. Berapa banyak harta yang kita keluarkan untuk merawat motor kita sampai kinclong? Setiap bulan diganti oli, setiap minggu diservis, dan setiap hari dicuci. Begitu cintanya kita pada motor kesayangan, sampai-sampai berapa duit pun keluar, rasanya tidak menjadi masalah. Jika kita buat permisalan, sekali ganti oli membutuhkan dana 50 ribu, sekali servis membutuhkan biaya 35 ribu, dan sekali cuci motor 10 ribu. Dalam waktu satu bulan kira-kira biaya untuk merawat motor dengan cara di atas menghabiskan dana 460 ribu. Hanya buat motor saja, 460 ribu per bulan? Wow!
Bagi lawan jenis yang kita sukai, tentu pengorbanan bisa lebih besar lagi. Jika lawan jenis kemana-mana jalan kaki, maka kita pun pasti memikirkan bagaimana caranya membelikannya sepeda ontel. Jika sudah memakai sepeda ontel, tetapi masih kecapekan juga, motor pun dibelikan. Begitu seterusnya. Mengapa bisa begitu? Ya, namanya juga pengorbanan. Walaupun dompet kosong melompong, kalau sudah datang malam minggu, saatnya ngapel. Jalan kaki pun tidak masalah walaupun jarak rumahnya 5 kilometer. Luar biasa bukan? Namanya juga pengorbanan. Apa pun akan ditempuh. Tidak heran jika ada lirik lagu yang (kata orang sekarang) cukup lebay.
Demi cintaku padamu, ke gurun ku ikut denganmu
Biar pun harus berkorban jiwa dan raga
Demi cintaku padamu, kemana pun kau kan ku bawa
Walau pun harus ku terjang lautan badai
Mau hidup berdua di gurun pasir? Atau mengarungi badai di lautan hanya berdua saja? Mau? Ingat, ini pengorbanan loh.
Terhadap keluarga pun demikian. Apapun kita berikan asal keluarga hidup rukun, akur, tidak ada yang saling bertengkar, sehat semua, dan tidak ada yang cemberut. Setiap awal bulan, pasti belanja pakaian baru. Untuk siapa? Ya untuk keluarga. Mengapa? Namanya juga pengorbanan. Sebulan sekali, diajak cek kesehatan ke dokter terkenal. Biar sehat terus maksudnya. Sampai sebegitunya.
Demikianlah, pengorbanan menjadi tolok ukur tersendiri. Semakin besar pengorbanan kita, itu menunjukkan besarnya rasa cinta kita.
3. RASA MEMILIKI
Rasa memiliki adalah perasaan ingin mempertahankan keberadaan sesuatu yang kita cintai dari gangguan apapun yang akan menghalangi eksistensi sesuatu tersebut. Rasa memiliki juga bisa berarti perasaan ingin melindungi. Ketika rasa memiliki kita terhadap motor begitu menguat, maka hal apapun kita lakukan untuk melindunginya.
Suatu ketika mungkin kita sedang berbelanja di sebuah toko atau pasar. Sudah ada tukang parkir yang mengamankan motor kita. Tetapi rupanya belum cukup. Takut motor hilang, rantai besar pun dibawa untuk mengikat roda motor kita dengan sesuatu. Tidak hanya itu, bel motor tanda ada maling pun dipasang di berbagai sudut motor. Suaranya dikeraskan biar terdengar jika ada pencuri yang mengambilnya, dan kita bisa segera menyelamatkan motor kita tentunya. Luar biasa bukan? Mengapa semua itu bisa dilakukan demi sebuah motor? Yaitu karena rasa memiliki kita kepada motor tersebut sangat kuat. Kita tidak ingin motor kita hilang, bahkan lecet sedikit pun.
Begitu juga ketika kita menyukai lawan jenis hingga mempunyai rasa memiliki terhadapnya. Karena merasa lawan jenis itu milik kita, maka kita pun berusaha untuk melindunginya. Kita pun menjaganya agar dia selalu mencintai kita, tidak mencintai orang lain. Segala upaya ditempuh agar dia tetap mencintai kita. Kita berikan dia baju baru. Setiap kali mau makan di-SMS, diingatkan untuk makan. Setiap malam minggu diajak ke restoran. Minimal makan di luar-lah. Warung bakmi juga tidak masalah, asal dia tetap cinta kita, tetap merasa diperhatikan kita. Sampai sebegitunya..
Demikian halnya dengan keluarga. Rasa memiliki kita akan keluarga juga membuat kita selalu berusaha menjaganya agar jangan sampai keluarga kita berantakan, tetap utuh dan selalu bahagia.
RENUNGAN
Hal-hal di atas, menurut saya adalah hal-hal yang bisa kita gunakan untuk mengukur rasa cinta kita kepada harta, kepada orang yang kita cintai, dan kepada keluarga. Namun rasanya kita juga harus memikirkan bahwa harta, orang yang kita cintai, dan keluarga adalah materi, yang suatu saat materi itu akan mengalami kerusakan dan akhirnya hancur dan musnah.
Mungkin kita merawat motor sampai sedetil-detilnya dan sepertinya tidak akan bisa rusak atau minimal tidak terlihat kotor. Tetapi benarkah motor tidak bisa rusak? Walau dirawat terus, pasti suatu saat motor itu juga akan habis dimakan usia. Andai motor kita bisa berusia sampai lama, mungkinkah kita juga masih bisa menjumpai motor kita sampai menjadi motor antik berusia 100 tahun? Apakah usia kita lebih banyak dari usia motor kita?
Orang yang kita cintai, sekuat apapun kita melindunginya, pasti akan mati juga. Mengapa? Seperti halnya motor, orang yang kita cintai juga adalah materi yang suatu saat bisa rusak dan musnah. Bahkan orang yang kita cintai juga sama seperti kita, yang usianya juga mungkin masih kalah dibandingkan dengan motor kita.
Demikian pula dengan keluarga. Siapa yang bisa menjamin keabadian kebahagiaan dalam keluarga? Keluarga juga adalah manusia, sama seperti kita. Suatu saat, pasti akan ada yang meninggal. Mungkin orang yang paling tua terlebih dahulu yang hilang (meninggal). Tetapi juga bisa terjadi orang yang paling muda yang akan meninggal. Atau mungkin malah kita sendiri yang akan meninggal sehingga kita tidak bisa lagi melindungi keluarga kita.
Demikianlah, bahwa sesungguhnya semua itu adalah materi yang pasti akan menuju kepada kemusnahannya, cepat atau lambat.
Jika demikian, mengapa kita tidak memberikan perhatian, rasa memiliki, dan pengorbanan kita kepada sesuatu yang tidak akan musnah sampai kapan pun? Mengapa kita tidak memberikan ketiga hal di atas demi sebuah perjuangan yang justru akan membawa kita kepada kebahagiaan dan cinta Allah? Mengapakah kita tidak memberikan ketiga hal di atas (perhatian, pengorbanan, dan rasa memiliki) kepada perjuangan dakwah yang kita miliki?
Bukankah kita juga mencintai Allah? Bukankah kita juga mencintai perjuangan ini? Bukankah kita juga mencintai gerakan dakwah yang kita jadikan sarana menuju tegaknya kalimatullah? Jika kita memang mengaku mencintai Allah dan perjuangan penegakkan Islam, mengapa tidak kita berikan porsi yang lebih besar ketiga hal di atas untuk perjuangan ini?
Sedikit bermuhasabah. Berapa banyak kita memikirkan urusan dakwah ini? Seberapa kuat rasa memiliki kita terhadap dakwah ini? Seberapa kuat kita melindungi dakwah Islam ini? Berapa banyak pengorbanan untuk dakwah ini? Berapa tetes keringat yang kita berikan untuk urusan dakwah? Berapa banyak harta yang kita miliki, kita gunakan untuk urusan dakwah? Seberapa sering kita melakukan kontak di tengah-tengah masyarakat? Bukankah kita mencintai Allah? Bukankah kita mencintai perjuangan ini? Bukankah kita mencintai Islam?
Jika saat ini merasa bahwa cinta kita kepada keluarga dan harta kita, jauh melebihi cinta kita kepada perjuangan Islam, agaknya kita perlu mengingat ayat berikut ini:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al kahfi: 46)
Ayat di atas memotivasi kita bahwa amalan-amalan saleh lebih kekal daripada harta dan keluarga.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Q.S. Ali Imran: 45)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Kematian hanya akan terjadi dengan izin Allah. Oleh karena itu, janganlah kita merasa ciut, takut mati, karena perjuangan Islam ini. Rasa takut mati, bisa mengurangi porsi pengorbanan kita terhadap perjuangan Islam. Jika porsi pengorbanan sudah semakin menyusut, maka di situlah cinta kita terhadap perjuangan Islam, kecil nilainya.
Tidak perlu takut miskin dengan pengorbanan harta, Allah telah berjanji kepada kita,
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)” (Q.S. Ar Ra’d: 26)
Allah juga berfirman,
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S. Al An’am: 32)
Allah tidak pernah melarang kita untuk mencintai sesuatu, kecuali ada batasnya. Cinta dia atas cinta, cinta tiada batas hanyalah milik Allah. Cintailah perjuangan ini. Allah pasti akan meneguhkan kedudukan kita,
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad: 7)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Copyright © 2011. Khazanah Islami - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger