Pandangan Islam tentang Oral Seks

0 komentar


Bagi kebanyakan pasangan, seks oral (oral seks) biasanya dilakukan sebagai bagian dari pemanasan atau foreplay. Kaum lelaki banyak yang menyukai aktivitas ini sebab oral seks mampu membakar fantasi mereka dalam meraih kepuasan. Pria biasanya merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dalam menerima maupun memberikan seks oral.
Namun bagaimana Islam menilai perbuatan seks semacam ini?
Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah, jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”
Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 100: 13, Asy Syamilah)
Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?”
Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah.
Kebanyakan ulama terdahulu dan belakangan membolehkan suami menghisap payudara istrinya walaupun sampai ia meminum susunya. Mengenai hal ini tidaklah haram menurut pendapat yang lebih kuat. Karena yang bisa menjadikan mahram (haram untuk dinikahi) adalah persusuan pada bayi sampai ia berusia dua tahun. Jika menghisap payudara istri saja boleh, maka tentu saja boleh mencium kemaluan sesama pasangan.
Adapun ulama belakangan –semoga Allah beri taufik pada mereka- yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium. Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci. Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.
Kesimpulannya, mencium kemaluan pasangan pada saat suci (bersih), dibolehkan. Sedangkan jika telah keluar najis, maka tentu tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya karena perbuatan seperti ini telah keluar dari tabiat manusia normal.” (Sumber fatwa: Islamway)
Sekedar saran, cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat ulama lainnya melarang keras perbuatan ini karena termasuk tasyabbuh (meniru-niru) gaya seksual barat atau non muslim. Selain itu perilaku semacam ini terdapat bahaya dari sisi kesehatan. Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes, “Di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit. Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks.” (Sumber: kompas.com). Di samping itu, hasil survey menunjukkan bahwa 50 % laki laki yang melakukan oral sex menderita kanker mulut. Penyakit yang diderita oleh pelaku oral seks bisa jadi adalah herpes di mulut atau alat kelamin, chlamydia dan gonorrhea menyerang bagian tenggorokan, HIV, HPV, sipilis, dan Hepatitis A. (Sumber: oktyana.com). Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah sepantasnya dijauhi karena mengingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

FATWA ULAMA – Hukum seputar seks (onani, masturbasi, sodomi, dll… )

APAKAH PELAKU ONANI/MASTURBASI MENDAPAT DOSA
SEPERTI ORANG YANG BERZINA?
Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas
oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan
tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau
budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam
keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan
suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan
hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya.
Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya
haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan
dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas
ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab
Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-
Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta
Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ .إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِھِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَیْمَانُھُمْ فَإِنَّھُمْ غَیْرُ مَلُومِینَ .وَالَّذِینَ ھُمْ لِفُرُوجِھِمْ حَافِظُونَ
فَأُولَئِكَ ھُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang
haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan
selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7,
juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang
sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suamiistri
atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan
dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
لَیْھِ یَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْیَتَزَوَّجْ فَإِنَّھُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ یَسْتَطِعْ فَعَ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّھُ لَھُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah,
maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih
terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq
‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa.
Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu
menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk
dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan
pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah
berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang
dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam
Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
.…وَالنَّاكِحُ یَدَهُ … :ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِیْنَ :سَبْعَةٌ لاَ یَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَیْھِمْ یَوْمَ الْقِیَامَةِ وَلاَ یُزَكِّیْھِمْ وَیَقُوْلُ
الْحَدِیْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada
Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya
dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana
ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh
sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang
masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk
melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu
yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah,
yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad
rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang
dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi
persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah (hal. 420-
421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus
dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang
memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
یَسْتَطِعْ فَعَلَیْھِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّھُ لَھُ وِجَاءٌ فَمَنْ لَمْ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan
kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani,
tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-
Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani
dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan
kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai
adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya
menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam
Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya
menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang
digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam
Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.”
Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para pemuda dan pemudi umat ini
untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan
kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam,
walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah
sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina
merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu
sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan
bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat
silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan
haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-
31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan
syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu
kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun
hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah
dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan
hujjah. Di antaranya:
.…وَالنَّاكِحُ یَدَهُ … :ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِیْنَ :سَبْعَةٌ لاَ یَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَیْھِمْ یَوْمَ الْقِیَامَةِ وَلاَ یُزَكِّیْھِمْ وَیَقُوْلُ
الْحَدِیْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi)
….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya
adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun
melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau
untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu
mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama
mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama
mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina
sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke
dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang
dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas
diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar
berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah,
dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’
Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang
diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak
lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau
lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu
dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil
yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi.
Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia
pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim
berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan
peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam majelis beliau. Silakan lihat pula
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin
Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh AlImam
Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi
Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259),
Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul
Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
Sumber: Salafy.or.id
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari
Judul: Hukum Onani
Hukum “Oral Sex”
Penulis: Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah
Apa hukum oral seks?
Jawab:
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-
Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,
“Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram,
tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar
maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama’).
Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi
akan menyebabkan penyakit baginya.
Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut –
sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-.”
Dan dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya
Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir),
Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad
Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya
dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”
Beliau menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita
punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh
(menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya
onta, dan menoleh seperti tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak.
Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang
untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut
pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi
hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim
dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan.”
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin
‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam sebuah rekaman, beliau
ditanya sebagai berikut,
“Apa hukum oral seks’?“ Beliau menjawab:
“Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun
banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah
lagi ganjil menurut syari’at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia
menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video
atau televisi yang rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati
istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah.
Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya
maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam.”
Dikutip dari darussalaf.org offline
dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H
Penulis: Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah
Judul: Hukum Oral Seks
Homosex dan Pengobatannya
Oleh: Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Aku adalah seorang pemuda berusia 21 tahun. Semenjak usiaku 8 tahun, aku telah
diuji dengan perbuatan liwath (homoseks). Hal itu terjadi karena ayahku disibukkan
(dengan urusannya sehingga lalai) dari memberikan pendidikan yang baik kepadaku.
Dan keadaanku sekarang, aku menjalani kehidupan yang penuh derita karena
perbuatan liwath tersebut. Sekarangpun aku menyesali perbuatan itu, hingga rasa
penyesalanku sampai pada tingkatan aku memikirkan untuk melakukan bunuh diri.
Wal ‘iyaadzubillah
Dan yang menambah derita dan adzab yang aku rasakan, keluargaku menghendaki
aku untuk segera menikah.
Maka dari itu, aku mengharap dari anda yang mulia, agar memberikan bimbingan
kepadaku supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Dan agar anda memberikan obat
menurut syar’i yang menyembuhkan/menyelamatkan aku dari masalahku ini sehingga
aku bisa melepaskan diri dari kehidupan yang penuh adzab, yang selama ini aku jalani
karena melakukan perbuatan liwath (homoseks).
Jawab:
Wa’alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
’Amma ba’du : Aku memohon kepada Allah, agar Allah memberikan penjagaan
kepadamu dari hal – hal yang telah engkau sebutkan.
Tidak diragukan lagi, bahwa apa yang telah engkau sebutkan, berupa perbuatan liwath
(homoseks) yang engkau lakukan, itu merupakan dosa yang besar. Akan tetapi, obat
/solusi untuk bisa lepas dari perbuatan homoseks tersebut adalah hal yang mudah.
Alhamdulillah.
Obat itu adalah bersegeralah engkau untuk melakukan taubat nasuha (taubat yang
sebenar-benarnya). Taubat nasuha yaitu dengan menyesali perbuatan dosa/maksiat
yang telah dilakukan pada waktu yang lampau dan besegera meninggalkan/menarik
diri dari perbuatan dosa/maksiat tersebut. Taubat nasuha juga harus dengan
tekad/azzam yang benar untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Hal
itu bisa dilakukan dengan bersahabat/bergaul dengan orang-orang yang shalih/baik,
meninggalkan / menjauh dari perkara-perkara yang bisa menjadi wasilah/jalan untuk
melakukan dosa itu kembali, dan bersegeralah engkau untuk menikah.
Dan aku berikan kabar gembira dengan kebaikan, keberuntungan dan kesudahan yang
terpuji jika engkau benar dalam taubat yang engkau lakukan. Hal ini sebagaimana
firman Allah ta’ala (yang artinya):
“dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman,
supaya kalian mendapatkan keberuntungan“. (Q.S An Nuur : 31)
Dan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat At Tahrim (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat
yang sebenar- benarnya”. (Q.S At Tahrim : 8 )
Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam (yang artinya):
“Taubat (taubat nasuha) menggugurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya“.
Dan sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam (yang artinya):
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa “.
Dan semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau, memperbaiki hati dan
amalanmu, serta semoga Allah mengaruniakan kepada engkau taubat nasuha dan
teman-teman yang shalih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz ’,
Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid, Buletin Dakwah Al-Atsary – Semarang
Edisi 11/Th.I/1427H
Sumber: www.darussalaf.org offline
Penulis: Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz,
Judul: Obat Syar’i Bagi Mereka yang Diuji dengan Perbuatan Maksiat
Hukum “Anal Sex”
Oleh: Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz
Soal:
Apa hukum mendatangi istri di duburnya (belakang) atau mendatanginya dalam
keadaan haidh atau nifas?
Jawab:
Tidak boleh menggauli istri di duburnya atau dalam keadaan haidh dan nifas. Bahkan
yang demikian itu termasuk dari dosa-dosa besar berdasarkan firman Allah Ta’ala
(artinya):
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah kotoran.”
Maka jauhilah diri kalian dari wanita ketika haidh. Dan janganlah kalian mendekati
mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka sudah suci, maka datangilah mereka di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintai orangorang
yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. Isteri-isteri
kalian adalah (seperti) ladang (tempat bercocok tanam) bagi kalian. Maka
datangilah ladang kalian bagaimana saja kalian kehendaki.” (Al Baqarah 222-223)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pada ayat ini wajibnya menjauhkan diri dari
wanita ketika dalam keadaan haidh dan melarang untuk mendekati mereka sampai
mereka dalam keadaan suci. Yang demikian itu menunjukkan atas
pengharaman untuk menggauli mereka ketika dalam keadaan haidh dan seperti itu
juga nifas. Dan jika mereka sudah bersuci dengan cara mandi, boleh bagi suami untuk
mendatanginya di tempat yang diperintahkan Allah, yaitu mendatanginya dari arah
depan (qubul), tempat “bercocok tanam“
Adapun dubur, adalah tempat kotoran dan bukan tempat bercocok tanam. Maka tidak
boleh menggauli isteri di duburnya bahkan yang demikian itu termasuk salah satu
dosa-dosa besar dan merupakan maksiat yang maklum dari syari’at yang suci ini. Abu
Daud dan An Nasa’i telah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya beliau bersabda (artinya):
“Terlaknatlah siapa saja yang mendatangi perempuan di duburnya“
At Tirmidzy dan An Nasa’i meriyawatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah tidak akan melihat kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau
perempuan di duburnya.” Sanad hadits ini shohih.
Mendatangi isteri di duburnya adalah bentuk liwath (sodomi) yang diharamkan
kepada laki-laki dan perempuan semuanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala tentang
kaumnya Nabi Luth ‘alaihi assalam (artinya):
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benarbenar
mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu” (Al Ankabut 28)
Begitu juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Allah melaknat siapa yang berbuat dengan perbuatannya kaum Luth“. Beliau
katakan tiga kali. (Diriwayatkan Al Imam Ahmad dengan sanad shohih).
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati darinya dan menjauhkan diri dari
setiap yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Bagi setiap suami hendaklah menjauhi
kemungkaran ini. Bagi setiap isteri untuk menjauhkan dari dari yang demikian dan
tidak memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan kemungkaran yang besar
ini, yaitu menggaulinya dalam keadaan haidh atau nifas atau di dubur.
Kita memohon kepada Allah berupa keselamatan bagi kaum muslimin dari setiap apa
yang menyelesihi syari’atNya yang suci. Sesungguhnya Dia sebaik-baiknya tempat
meminta. (Yang Mulia Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah)
Sumber: Lin Nisa’ faqoth (276-278),
dikutip dari www.mimbarislami.or.id
Penulis: Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz,
Alih Bahasa: Ayub Abu Ayub,
Judul: Hukum “Anal Sex”.
Hukum Onani atau Masturbasi
Penulis : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan
onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai
berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu
yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya
saja, saya seringkali gagal.
Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya
melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya
mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani
biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih
kesenangan/ kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala
halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual
kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran
dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa
itu akan menjadi tameng baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no.
1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan)
syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang
tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini
menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan
menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka
onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi
apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal
yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda
menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat.
Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang
menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk
sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya
dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan
dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar
adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan
adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan
memutus jalannya kepada anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda.
Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda
kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian
setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa
karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal
karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai
syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung
kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak
membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa.
[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
IV 273-274]
Onani, kebiasaan yang tersembunyi
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab :
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan
atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta
penelitian yang benar.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
(yang artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka
ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat
di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata
dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya
berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106
dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang
tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh,
tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau
tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui
bahwa melakukan onani itu tidak boleh.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat
kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada
bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran
dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya.
Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara
seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]
Kebiasan jelek beronani/masturbasi
Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang
lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab :
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu
‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang
benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min
dan sifat-sifatnya.
(yang artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh
dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan
tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan
tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan
sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia
lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter
kesehatan.
Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya
dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai
penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat
banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan
dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang
dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang
dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya
(perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu
hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum
mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq
‘Alaih]
Didalam hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka
lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau
mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena
puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama. Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua. Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum
mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguhsungguh
di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i
sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan
memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat
pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang artinya) :
“Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-
Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan
tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan
dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi,
Nasa’i dan Ibnu Majah]
(Dikutip dari terjemah Fatawa Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts,
edisi 26 hal 129-130, disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-
Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram)
Sumber: Salafy.or.id offline
Judul: Fatwa ulama seputar onani atau masturbasi
Hukum Seks Lesbi (Lesbian) Dalam Islam
Hukum Seks Lesbi (Lesbian) Dalam Islam
Sihaq (lesbi) adalah apa yang terjadi antara wanita dengan wanita berupa gesekan dua
farji kemaluan wanita.
A. Definisi Lesbi
Berkata penulis kamus Al-Lisan (Lisaanul ‘Arab pada judul س حق .), “kata اَلسَّحْقُ
artinya ialah yang lembut dan yang halus, dan مُسَاحَقَةُ النِّسَاءِ adalah kalimat lafal yang
terlahir (darinya).”
Ibnu Qudamah berkata dalam kitabnya Al-Mughni (10/162), “Jika telah bergesek dua
wanita maka keduanya melakukan zina yang terlaknat berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasanya Beliau Shallallaahu
’alaihi wasallam bersabda,
“ لْمَرْأَةَ فَھُمَا زَانِیَتَانِِإِذَا أَتَتِ الْمَرْأَةُ ا ”
“Apabila seorang wanita mendatangi (menyetubuhi) seorang wanita maka keduanya
berzina.” tidak ada batasan dalam hal ini pada keduanya karena tidak ada ilaj (Ilaj (
إِیْلاجٌ ) ialah masuknya kepala zakar pria pada kemaluan wanita.) ( إِیْلاجٌ ) di dalamnya.
Maka hal itu serupa dengan mubasyaroh (Mubasyarah ( مُبَاشَرَةٌ )ialah hubungan badan
antara suami dan istri) ( مُبَاشَرَةٌ ) tanpa farji dan keduanya harus dihukum karena telah
berbuat zina yang tidak ada batasan di dalamnya, persis dengan seorang lelaki yang
menggauli wanita tanpa jima’ (hubungan intim).”
Al-Imam Al-Alusi berkata di dalam Ruhul Ma’ani, Jilid ke-8, hlm. 172-173, setelah
berbicara tentang gay dan kejelekannya, beliau Rahimahullah berkata,
“ بِھَا السِّحَاقُ وَبَدَا أَیْضًا فِيْ قَوْمِ لُوْطٍ، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَأْتِي الْمَرْأَةَ وَأُلْحِقَ ”
“Sihaq (lesbi) masuk dalam kategori liwat yang juga terjadi pada kaum Luth, yaitu
seorang wanita menyetubuhi wanita.”
Dari Hudzaifah Radhiallaahu ’anhu,
”نَّمَا حَقُّ الْقَوْلِ عَلَى قَوْمِ لُوْطٍ حِیْنَ اسْتَغْنَى النِّسَاءُ بِالنِّسَاءِ ، وَالرِّجَالُ بِالرِّجَالِإِ“
“Sesungguhnya benarlah ucapan (Allah Subhaanahu wa Ta’ala) atas kaum Luth
tatkala kaum wanita (dari mereka) merasa cukup dengan para wanita dan kaum
lelaki merasa cukup dengan para lelaki.” (Para perawi hadits ini terpercaya, hadits
ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iimaan dan oleh As-Suyuthi dalam
Ad-Daar Al-Mantsuur (3/100)
Diriwayatkan dari Abu Hamzah, beliau berkata, ”Saya pernah mengatakan kepada
Muhammad bin Ali bahwa:
’”عَذَّبَ اللهُ نِسَاءَ قَوْمِ لُوْطٍ لِعَمَلِ رِجَالِھِمْ“
“Allah ’Azza Wa Jalla mengadzab para wanita kaum Luth karena perbuatan para
lelaki mereka?”
Kemudian, Muhammad bin Ali berkata:
”ِءاَسِّنلاِب ءاَسِّنلاَو ، اَللهُ أَعْدَلُ مِنْ ذَلِكَ ، اِسْتَغْنَى الرِّجَالُ بِالرِّجَالِ“
“Allah lebih adil dari itu (adanya adzab) karena, kaum lelaki telah merasa cukup
dengan para lelaki dan kaum wanita telah merasa cukup dengan para wanita.” (
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Abiddunya dan Ibnu ‘Asakir)
B. Hukuman Perbuatan Sihaq (Lesbi)
Kita telah melihat apa yang dinukil oleh sebagian (ulama) tentang hukuman Allah
Subhaanahu wa ta’ala terhadap para wanita kaum Luth bersamaan dengan para lelaki
mereka, yaitu ketika para lelaki merasa cukup dengan kaum lelaki maka hukumannya
pun telah diketahui, tidaklah samar bagi seorang pun.
Meskipun Ibnul Qayyim berkata,
“ دِ وَالرَّجُلِ وَالْفَمِوَلَكِنْ لاَ یَجِبُ الْحَدُّ بِذَلِكَ لِعَدَمِ الإِیْلاَجِ، وَإِنْ أُطْلِقَ عَلَیِھِمَا اسْمُ الزِّنَا الْعَامُ كَزِنَا الْعَیْنِ وَالْیَ ”
“Akan tetapi, tidaklah wajib padanya (yaitu dalam perbuatan lesbi) hukuman (bunuh)
karena tidak adanya ilaj walaupun disematkan kepada keduanya (dimaksud oleh Ibnul
Qayyim dengan ucapannya “kepada keduanya” ialah seorang lelaki menggauli lelaki
lain dengan kemaluan tanpa adanya ilaj dan seorang wanita yang menggauli wanita
lain maka tidak terjadi ilaj padanya.) nama zina secara umum, seperti zina mata, zina
tangan, zina kaki, dan zina mulut.” ( Al-Jawaab Al-Kaafi, hlm. 201.)
Demikian juga, Selain beliau ada yang berkata,
“ أَنَّھُ لَیْسَ فِیْھِ إِلاَّ التَّعْزِیْرُ ”
“Tidaklah ada pada perbuatan lesbi, kecuali ta’zir” (Ta’zir adalah hukuman bagi para
pelaku maksiat tidak sampai dibunuh.)
Akan tetapi, tidaklah hal tersebut menjadikan kita untuk menyepelekan dan
menganggap remeh dosa lesbi karena seorang wanita jika menjalani dosa tersebut, ia
telah meletakkan kedua kakinya di atas jalan pebuatan yang keji. Ia akan melakukan
yang selain dari itu dengan lebih cepat, jika terbuka sebuah kesempatan (baginya).
Dan jika hukumannya berupa ta’zir (hukuman selain dibunuh), apakah setiap wanita
yang melakukan hal tersebut akan pergi untuk dita’zir dan disucikan atau
hukumannya ditangguhkan sampai (datang) hari kerugian dan penyesalan?
عَذَابُ الآخِرَةِ أَشَقُّوَلَ
“Dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 34)
Sumber: Buku Seks Bebas Undercover (Halaman 84-87), Penulis Asy-Syaikh Jamal
Bin Abdurrahman Ismail dan dr.Ahmad Nida, Penerjemanah Syuhada abu Syakir Al-
Iskandar As-Salafi, Penerbit Toobagus Publishing, Bandung. Dikutip dari Blog Al
Akh dr. Abu Hana.
Dikutip dari: darussalaf.com
Penulis: Asy-Syaikh Jamal Bin Abdurrahman Ismail dan dr.Ahmad Nida
Judul: Islam Bicara Tentang Sihaq (Lesbi)
Bolehkah Bersetubuh Sebelum Istri Mandi Haid ?
Masalah Hubungan Antara Suami-Istri
Penulis: Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i
Soal :Seseorang bersetubuh dengan istrinya, setelah terhenti darah dan sebelum dia
(istri) mandi, maka apa hukumnya?
Jawab :
Yang Shohih (benar) menurut pendapat para ulama bahwa dia jangan menggauli
istrinya hingga dia (istri) mandi, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka suci. Bila mereka telah
suci, maka datangilah mereka dari arah yang Allah perintahkan kalian. (Al Baqarah :
222)
Yang menjadi dalil adalah perkataan “bila dia telah suci.“
Bila wanita itu tidak mendapatkan air atau tidak mampu menggunakannya, hendaknya
dia bertayammum, sholat dan berpuasa jika di bulan ramadhan, atau mengqadha atau
berpuasa tathawwu’ dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya.
Wallahu A’lam.
 (Ijabatus Sa’il, no. soal 439) Sumber : Buletin Islamy Al Minhaj Edisi II/Th I
Dikutip dari Darussalaf.or.id offline
Penulis: Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i رحم ھ الله
Judul: Masalah Hubungan Antara Suami-Istri
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Copyright © 2011. Khazanah Islami - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger